Beberapa orang bilang raihlah ilmu setinggi-tingginya. Yap, sekarang kamu bisa belajar dimana saja tentang semua. Terutama melalui internet. Selain bisa belajar, media internet menyediakan fasilitas supaya kita bisa tetap berkomunikasi tanpa harus tatap muka. Biayanya pun nggak sebesar ketika kita menelepon. Sekedar pinjam wifi dan modal ponsel (boleh ponsel teman).

Jadilah orang yang pintar, supaya nggak dibodoh-bodohi.
Meleklah hukum supaya nggak dibodoh-bodohi juga.
Tapi kita juga punya nalar dan logika sebagai manusia.
Buat mempertimbangkan nak nik nuk nek nok.
Katamu Indonesia sedang maju, sedang berkembang, dan sedang mengalami modernisasi.
Sekaligus rangkuman kata kemajuan, berarti ada penindasan.
Penginjakkan dan perataan. Iya, perataan tanah.
Perataan yang selama ini jadi kekhawatiran masyarakat yang dipandang sebelah mata.
Di ambang pilu, di ambang batas, dan di ambang kecewa.

Saya tadinya tutup kuping. Tutup mata. Tak ingin memikirkan.
Politik menjelimet. Kaya dan kapitalis yang rumit. Saya tak peduli.
Tapi rintihan itu kadang menyentak, menggertak hati.
Kala beberapa jam sebelum kepergian teman yang mau menjelajah tanah Papua, saya cukup terkejut melihat email yang datang di sore hari. Katanya ia mau berangkat ke Ambon setelah dari Papua. Dengan nada sumringah kecewa tapi takjub di dalam hati, kenapa kok manusia ini tiba-tiba ditugaskan menjelajah 2 kota sekaligus di Indonesia Timur? Tiba-tiba dan diputuskan di hari itu juga.

Yep, dia memang kepingin banget ke tanah Ambon. Terutama ke Pulau Buru yang pantainya kurang ajar indahnya, walaupun melihat dari internet.

dari google, eh nyambung ke twitternya @almascatie
dari tumblr
Ciaelah.. judulnya ranum banget buat  dibaca. Orang dimana-mana mengais-ngais dulu minta uluran tangan untuk berdiri. Tetapi beberapa memilih untuk berdiri lagi tanpa bantuan orang lain. Kok saya jadi ngomongin ginian ya... Sebenarnya hal pertama yang membuat saya berdiri lagi. Karena bantuan orang lain.

menyudut tak menyulut
Kami sengaja duduk di tempat duduk yang menyudut di sebuah kafe. Tidak. Kami tidak mau "mojok" supaya orang bisa ngintip aktifitas yang kami lakukan. Kami sama-sama benci kerumunan dan keramaian. Kami suka menyenandungkan sepi sebagai pengiring.

Hanya tiap kali menatap manusia ini yang mungkin di luar nyawaku dan andai aku mengganda seperti makhluk mikroskopis, mungkin aku tak seharusnya bertemu dengannya. Di luar akal yang orang bilang kurang bermakna mengatasnamakan ke-normal-an...

Bohong ketika orang bilang tidak suka menulis dan membaca...

karena semua orang penulis dan semua orang pembaca...

Monggo Mampir

Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan(s)