Kartini Masih Berjuang

/
0 Comments
sumber gambar: http://balikpapan.ldii.or.id/
Melihat jingkatan terburu-buru para pemakai sepatu hak tinggi di trotoar, di bus, di dalam gedung perkantoran, atau dimanapun. Pagi-pagi mereka berjingkat, tak urung berusaha membuka mata mereka melawan rasa ngantuk dan malas. Sekilas tak ada bedanya dengan para pemakai sepatu pantopel hitam pekat berujung lancip. Tidak ada perbedaan yang mencolok tentang akivitas mereka. Karena itu era sekarang, perbedaan hanya disekat oleh kamar mandi khusus laki-laki dan perempuan. Selebihnya “kelihatan sama”.
            Letak perbedaan kamar mandi mana yang laki-laki dan perempuan. Tidak hanya membedakan bagaimana cara mereka buang air kecil saja. Itu sebuah pengorbanan. Penciptaan lahiriah yang tidak pernah bisa diubah manusia secara total. Perempuan diajarkan untuk duduk dan laki-laki berdiri. Duduk dan menunggu, berdiri dan bekerja. Seakan duduk terdengar lebih pasif. Seperti berjalan balik ke masa lalu ketika perempuan hanya bisa sekadar duduk di rumah menunggui suami mereka pulang kerja. Duduk di rumah mengurusi anak. Hanya bisa berjalan ketika mereka melakukan pekerjaan domestik dan itulah keahlian perempuan. Melakukan sebuah pekerjaan yang tidak seharusnya dilakukan oleh pria. Mengapa sekarang perempuan tidak buang air kecil berdiri? Pernah membayangkan? Kenapa tidak, perempuan juga bisa. Itu mungkin bukan bahasan serius. Tapi filosofi ini serius. Duduk dan berdiri.
            Dobrakan Kartini pada masa lalu membuat pergeseran stigma terhadap pekerjaan rumah tangga ruang yang selalu dilakoni kaum perempuan. Tapi stigma tidak sepenuhnya bergeser tentang perempuan karena sejarah begitu melekat sampai kapanpun generasinya. Kaum perempuan selalu identik dengan seluk-beluk pekerjaan domestik. Jangan salah, mereka yang memakai sepatu hak tinggi untuk berdesak-desakkan di dalam bus, berjingkat lari mengejar waktu, dan berusaha membuka mata ngantuk memiliki stigma yang melekat. Kaum perempuan yang mencari uang dalam paruh waktunya dan masih pengaruh stigma dan budaya. Salut kepada kaum perempuan yang bisa membagi waktu seperti ini, khususnya bagi para ibu.
            Diantara para ibu yang berjuang, ada yang bukan pemakai sepatu hak tinggi sejati dibalik semuanya itu. Mereka para pemakai sandal jepit dan sepatu flat. Sama-sama kaum perempuan yang membantu menyukseskan penampilan mereka dan meringankan pekerjaan domestik. Begitu adanya seorang pembantu rumah tangga menyukseskan kegiatan yang seharusnya dikerjakan oleh si ibu sendiri. Kadang peran ini begitu tersisih di mata kita. Hanya memandang mereka sebelah mata saja.
            Istilah marginalisasi tidak hanya dikenal dalam sebuah sistem gender dalam masyarakat. Baik dulu sampai sekarang gender masih dibedakan. Linda Gumelar, Menteri Pemberdayaan Permpuan, mengatakan perempuan yang bekerja masih dianggap membantu perekonomian keluarga, bukan sebagai pencari nafkah utama (vivanews.com, 2013). Tetapi kenyataannya banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, terutama mereka yang menjadi orang tua tunggal.
            Era ini modern, tapi penggambaran yang salah ketika melihat “sepatu” apa yang dipakai perempuan itu ketika bekerja merupakan anggapan yang keliru. Melihat apa rendah tingginya jabatan yang mereka pegang. Ini sebuah pengarahan budaya borjuis yang mendominasi. Modern tidak berarti mengkotak-kotakan berapa yang didapat dan apa yang dijabat. Melihat perempuan modern yang berdiri merupakan mereka yang rela bekerja membanting tulang dengan segala pengorbanannya, tidak melihat apapun pekerjaan mereka.
            Teringat pekerjaan kasar seperti  “buruh” dan “pembantu rumah tangga” yang tidak harus memiliki keahlian khusus, pekerjaan yang kerap begitu diremehkan. Di lain sisi, mereka dikatakan orang-orang yang sangat berjasa. Dilansir dari Kompas.com pada April 2013, total buruh di Indonesia mencapai 80.000 orang, dimana 90% diantaranya adalah Tenaga Kerja Wanita. Mereka begitu giatnya bekerja di pabrik, padahal tidak hanya saja waktu dan tenaga saja yang mereka korbankan untuk  mencari uang. Tetapi psikis kejiwaan mereka juga terancam. Sebanyak 75% dari TKW tersebut mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Pemandangan yang cukup membuat miris  ketika suatu saat saya mendengar seorang Pembantu Rumah Tangga yang dimarahi majikannya di sebuah mall untuk membawakan barang belanjaannya. Padahal perempuan itu sedang menggendong anak majikannya. Menarik lagi pertanyaan “siapa yang membutuhkan” menjadi sebuah masalah. Majikan membayar, PRT dibayar. Keduanya sama-sama membutuhkan, tetapi rasa hormat satu sama lain rasanya sudah tidak berkenan lagi untuk ditunjukkan.
Pekerjaan, jabatan, dan kehormatan. Kaum perempuan memiliki pengendalian atas segalanya, mereka bisa mendapatkan semuanya. Hanya jalurnya berbeda. Kaum perempuan yang memiliki pekerjaan kasar yang dianggap sebagai kelas C dalam strata ekonomi justru membuang tenaga lebih banyak, lebih mengorbankan segalanya.
Pembantu mengorbankan waktu keluarga mereka untuk mengurus keluarga majikan. Menggendong, menyuapi, memandikan, dan bermain dengan anak majikan. Mendiamkan anak majikan ketika menangis. Mereka adalah substitusi dari peran seorang “Ibu” yang sebenarnya. PRT yang memiliki anak, mereka mencurahkan segala waktu mereka kepada anak majikan bukan anak mereka. Mencari nafkah untuk anak mereka, bukan anak majikan.
Apa yang kita lihat melekat pada kesuksesan perempuan kantoran atau business woman merupakan salah satu contoh perempuan bisa bekerja. Tetapi kesuksesan tidak hanya dilihat dari pakaian mereka saja. Tetapi juga siapa yang membuat penampilan mereka begitu baik. Buruh pekerja kasar yang didominasi kaum perempuan. Siapa yang begitu indah membuat pakaian mereka, tas mahal mereka, dan sepatu hak tinggi yang begitu pas di kaki. Tak lupa siapa yang membuat sepatu laki-laki, pakaian mereka, jas, hingga tampil begitu memukau, Mereka para kaum perempuan yang terlibat melengkapi sebuah kesuksesan.
Ketika ibu-ibu bekerja mencari uang di kantor, siapa yang menjaga anak mereka. Kaum perempuan membantu urusan domestik demi keluarga majikan dan membantu menafkahi keluarganya yang tinggal di daerah.
Perjuangan kaum perempuan belum terhenti titik Kartini mendobrak pintu kungkungan perempuan. Dobrakan pertama membuat sebuah tantangan-tantangan baru yang tak jarang perempuan temui. Mau apapun profesi yang digeluti oleh kaum perempuan, mereka tetaplah memiliki perjuangan masing-masing. Pekerjaan “Kartini” yang terkubur tersebut sebenarnya membawa sebuah dampak yang sbenarnya sangat berpengaruh kepada kehidupan kita, termasuk “Kartini” pekerja kasar. Kaum perempuan sekarang tidak hanya duduk saja, melainkan berdiri dan berlari menyeimbangi kaum laki-laki walau stigma pekerjaan domestik adalah kewajiban yang tidak bisa dilepaskan. Hal tersebut justru menjadi nilai tambah bagi kaum perempuan sebagai orang yang multitasking dalam melakukan pekerjaannya. Setiap “Kartini” patut dihormati apapun pekerjaannya.


You may also like

Tidak ada komentar:

Bohong ketika orang bilang tidak suka menulis dan membaca...

karena semua orang penulis dan semua orang pembaca...

Monggo Mampir

Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan(s)