Teka-Teki Seseorang | Bagian 3: Odi

/
0 Comments
Gea. Dia paling senang berjalan di malam hari menikmati hanya sekadar menikmati lampu jalanan, lampu-lampu mobil, dan angin yang berhembus menggelitiki telinganya. Bunyi angin itu lucu. Dia selalu bilang seperti itu pada dirinya sendiri. Angin berbisik, angin bisa dirasakan, namun angin tak bisa digenggam dan dilihat. Aneh, ya?

Dulu, kakeknya sering mengajak Gea jalan-jalan di malam hari hanya sekadar melihat-lihat orang berjualan di pasa malam. Sebelum pulang mereka pasti duduk di trotoar sambil menikmati kopi hangat untuk kakeknya dan teh hangat untuk dirinya yang dibeli dari tukang jual minuman sepeda.
Kakek selalu bilang, “Dengar tidak angin lagi ngomong apa?”
Gea hanya bingung menatap kakeknya. Ia hanya bisa mendengar angin bergemuruh halus di telinganya dan menimbulkan suara yang sukar dijelaskan.
“Tidak. Grusuk-grusuk gitu angin bunyinya , Kek!”
“Kakek dengar.”
“Dengar? Emang angin bilang apa?”
Kakek mulai memejamkan mata. Dia tersenyum dan tiba-tiba tertawa sendiri. Gea hanya bisa melihat ngeri kakeknya yang mulai seperti orang gila.
“Katanya kita lucu,” Kakek mulai membuka matanya.
“Aneh...”
Mendengar jawaban itu Kakek langsung tertawa terbahak-bahak. Kakek tahu, dia memang aneh. Tapi itu cara menikmati angin. Mendengarkan dan...
“Kamu mau tahu gimana cara mendengarkan angin?” tanya Kakek melihat mata bulat cucu kecilnya yang menatapnya seakan Kakek memang sudah mau gila.
“Gimana?”
Kakek menunjuk satu telunjuknya di kepalanya dan di dadanya.
“Imajinasi dan perasaan... Yang bisa mendengarkan itu Cuma kamu sendiri, kakek tidak bisa. Yang bisa mendengarkan angin bilang “Kita lucu” itu Kakek, bukan kamu. Terkadang kita tidak dimengerti orang lain, tapi kamu harus tahu. Yang mengerti diri kamu itu sebenernya ya kamu sendiri.”
Gea hanya tertawa dan ia mencoba apa yang dilakukan Kakek gilanya itu. Gea melakukannya dan ia tertawa lebih kencang dari Kakek.
“Mau tahu angin ngomong apa?”
“Emangnya apa?”
“Katanya Kakek udah gila.”
Mereka tertawa.

Kalau diingat-ingat lagi Gea pasti suka tertawa sendiri. Dia sebenarnya memang yang mengatakan Kakeknya gila. Bukan angin. Disitu Kakek mengajarinya cara berimajinasi. Dia mulai suka membayang-bayangkan hal-hal kecil. Tertawa sendiri terkadang. Konyol memang, tapi itu benar.
Sekarang dia malah berjalan sendiri. Tidak ada yang bisa menemaninya seperti dulu. Kakek sudah lama meninggal dan dia rindu melakukan hal itu. Di sepanjang trotoar ini masih ada beberapa orang yang menunggu bus mereka masaing-masing untuk pulang. Ada yang berjualan minuman, gorengan, dan rokok. Ini pemandangan yang sebenarnya mengasyikkan bagi Gea, tapi belum tentu bagi yang lain.
Ponsel Gea bergetar di saku celananya. Ternyata SMS dari Kakaknya sendiri, Odi.

Geaa... ke Batallioooonn....

Ini baru pukul 21.15. Gea menghembuskan napas. Kenapa harus ke tempat itu?! Selalu saja Gea dibuat susah oleh Odi. Apalagi Gea bukan orang yang suka ke tempat seperti itu.
Ini sudah tidak terhitung berapa kali ia menjemput Odi di kelab malam seperti itu. Ini masih mending ketika ia menjemputnya jam satu atau dua pagi dan berakhir dengan cercaan mulut Odi yang tajam.
Sesampainya di Batallion, Gea melihat Odi yang masih saja berjoget ria tak tahu aturan berbusana yang benar di kelilingi entah manusia lawan jenis berpikiran jorok. Di dekatnya ada teman sekantornya juga yang suka mengajaknya ke kelab sini, Kireina.
Darah Gea mendidih dalam hitungan detik ketika melihat Kireina mulai berlaku gila sambil mengangkat dress mininya yang melebihi kata mini dan mengajak Odi melakukan hal yang sama. Di saat itu Gea menjambak Kireina sampai terjatuh dan memukul kawanan serigala berpenis yang berusaha merangkul Odi “lebih dekat”. Kontan lelaki-lelaki itu mengutuki tindakan Gea. Perlakuan Gea itu membuat mata-mata
“Eh, elo! Berani-beraninya kau menjambak rambut saya, baru juga di ekstensiyen (extention)! Mau lo bawa kemana tuh temen gue?!” suara sumbar dan melengking Kireina memekakkan telinga. Manusia ini mabuk dengan serigala lainnya, tak terkecuali kakaknya sendiri.
“Heh, rambut mayat aja lo simpen-simpen! Mendingan simpen tuh keperawanan lo! Jangan diumbar kesana-sini. Sekali lagi lo ajakin Odi kesini, gue dorong lo ke jalan tol!” teriak Gea. Sekuriti saat itu mulai mendekati Gea.
“Eeh, adek gue bisa ngelawak juga, ya?” Odi menimpali di bawah alam setengah sadarnya itu sambil cekikikan. Sekuriti baru saja ingin mengucapkan kata-kata, langsung dipotong oleh Gea.
“Saya bisa keluar sendiri, Pak!” kata Gea tegas dan menyamai tatapan galak Pak Sekuriti.

Di tengah-tengah jalan, Odi sibuk bernyanyi-nyanyi ria dan melontarkan hal-hal yang ia kesalkan di kantornya. Omongannya belepotan, tidak jelas, dan bajunya juga terlalu minim untuk ia kenakan sebenarnya. Gea sengaja mengajaknya jalan sambil memapah Kakaknya itu, walau banyak orang yang memperhatikan. Setidaknya menunggu keadaan dia agak pulih untuk pulang ke rumah.
“Ehhh, Geaaa! Hidup lo itu tuh... ehm, jangan terlalu dibawa selius, eh, serius! Kok gue jadi cadel tiba-tiba,ya? Hahahahahaha....” Odi mulai konyol.
Gea tak sanggup lagi berjalan. Ia mendudukkan Odi di tempat duduk halte bus. Tak begitu menanggapi cercaan Odi.
“Kali-kali gitu ke Batallion, kali-kali minum, nggak kayak lo! Nongkrong mantengin laptop dengan halapan, eh, harapan kosong! Udahlah, lo tuh berhenti aja nulis!” katanya. Gea agak tersinggung dengan kata-kata Odi. Bahkan sebenarnya sangat tersinggung. Dia mabuk dan tipe pemabuk jujur.
“Berisik lo, mendingan diem aja!” kata Gea menoyor kepala kakaknya.
“Eh lo, lebih muda dari gue! Oh iyaaa, cari pacar sana gih. Gue kasihan ngelihat lo entar jadi perawan tuaaaa.... Tuwiiik, entar keburu susah di....” Odi belum menyelesaikan omongannya, Gea keburu menutup mulut Odi. Odi berusaha melepaskan bekapan tangan Gea.
“Gue aja udah pernaaahh begituan sama...” Odi tertawa dan kemudian diiringin isakan tangisan.
Gea menganga, dia tidak ingin melihat kakaknya itu. Berbagai macam kata kebun binatang sebenarnya sudah mau ia lontarkan, hanya ia tak sanggup bicara. Ia tak tahu harus marah atau tidak. Memang ia harus marah! Ia harus marah dan ia ingin sekali menampar Odi berkali-kali. Brengsek! Kakak gue sendiri brengsek, desis Odi.
“Sama siapa?” Gea berusaha menahan air mata dan amarahnya. Untuk menanyakan dengan dua kata saja suaranya sudah cukup bergetar.
“Itu tuh, sama boss sialan itu! Katanya gue mau dinaikkin jabatannya asalkan gue harus ngikutin apa yang dia mau. Gue goblok, ya? Aahahhahahak...”
“Jadi apa?”
“Editor majalah High, gebleeek!”
“Kapan?”
“Itu kapan itu yaaaaa? Hmmm, satu, dua, tiga, eh, dua, eh... hmmm, dua bulan yang lalu. Hahaha, gobloknya sih gue ternyata nggak dinaikin jabatan sama sekali. Yang dinaikin malah si Kirei pecun sialan itu! Bangke!” suara sesumbar Odi terdengar jelas di telinga Gea.
“Goblok. Elo kelewat goblok.”
“Eh, gue cari duit buat biayain mayat bapak lo itu yang dulu masih idup. Eh, mayat dulu bisa idup, ya? Hahahaha... emangnya elo? Bisanya cuman mantengin laptop tua lo dengan imajinasi konyol lo?”
“Seenggaknya gue nggak jual harga diri gue.”
“Maksud lo apaaaaa?”
Gea lupa. Dia berbicara dengan orang mabuk dan gila, mana mungkin dia mendengar apa yang diocehkannya. Paling-paling Odi juga lupa sendiri apa yang ia omongkan.
“Emangnya gue emak lo? Bisanya juga jual diri doang? Lo nggak tahu emak lo itu dari dulu sampe sekarang nggak ada bedanya? Sekarang lo pilih mana yang punya otak, gue apa emak lo? Setipe sama Kireina sialan itu.”
Gea ingin sekali mendorong Odi biar ditabrak mati oleh mobil yang lewat. Omongannya kelewatan. Gea hanya memejamkan mata. Dia ingin Kakeknya berada di sisinya sekarang juga. Mengatakan untuk mendengarkan angin. Ia melakukannya. Merasakan angin, mendengarkan angin.
“Bukan tipe semen rontok.”
Itu yang ia dengar. Ia bingung, Gea malah tertawa sendiri di dalam pikirannya. Semen rontok? Terus gue semen apa dong?
“Hahaha, lo udah gila, ya?” Odi menyentuh hidung adiknya itu.

Pukul 23.35, Gea dan Odi mencapai rumah mereka menggunakan taksi. Ibu mereka sudah menunggu di ruang keluarga sambil menatap tajam kedua putrinya itu.
“Malam, Bu,” sapa Gea dingin.
Untung Odi tidak sebegitu mabuknya seperti tadi. Gea masih merangkul Odi. Ia menatap Mama yang masih menatapnya.
“Saya mau bicara,” kata Ibu. Gea mendudukkan Odi di sofa dan ia segera mengambil posisi duduk di sebelahnya. Odi menatap lelah Mama dan ia menahan pusing di kepalanya itu.
“Kalau perlu kalian tidak usah menginjakkan rumah ini lagi kalau tidak pernah menghormati saya,” kata Ibu. Odi tertawa, Gea menunduk, Ibu melotot.
“Begitu cara kamu menghormati saya?” tanya Ibu tegas melihat perlakuan anak tertuanya yang sebenarnya tak pantas menjadi anak. Itu pikiran negatif yang selalu menggantayangi dia.
“Omongan telek ayam, anget tapi busuk, Dek...” Odi mengajak bicara Gea, tepat di depan orang tuanya. Plak! Ibu tidak segan-segan menampar Odi. Tatapannya kini sangat marah. Marah sebagai orang tua dan marah telah dihina di depan matanya.
Gea tidak bisa membantu apa-apa kalau begini, kalau dia membantu, amarah Mama semakin meninggi. Pernah dia membela Odi yang ditampar berkali-kali karena didapatinya mabuk berat di rumah, Mama malah mengambil rotan memukul mereka berdua. Barang-barang pecah beling dipecahkan oleh Bu Esti, alias Mama mereka sendiri.
“Bawa Kakakmu ke kamar, sana!”
“Eh, Bu Esti masih bisa bilang aku Kakakmu, lho!”
Gea langsung membungkam Odi yang mulutnya mulai membusuk dan menariknya paksa ke kamar.
Odi hanya bisa berbaring di kasurnya dalam diam setelah berhasil mengatai Mama. Odi ingin sekali mengatainya lebih dari itu. Dia kurang puas. Kebodohan-kebodohan Odi terlintas dalam benaknya. Bodoh, kamu ngatain ibu kamu sendiri. Bodoh, kamu masih mengikuti Kireina. Bodoh, kamu bersedia dinikmati bos sendiri. Bodoh, ini sangat bodoh. Kamu bukan jadi kakak yang baik. Iya, bodoh... Kepalanya makin sakit ketika ia semakin memikirkan itu. Bulir-bulir air matanya jatuh untuk kesekian kali di tempat tidurnya lagi.

Gea berlenggang ke kamar mandi. Tak ada niatan untuk membasuh tubuhnya dengan air. Ia hanya mencuci wajahnya saja dan kaki tangannya. Di hadapan cermin dia melihat sosok gadis yang bukan lagi anak kecil, bukan lagi yang Kakeknya bisa lihat. Bagaimana Kakek bisa punya anak seperi Mama Esti? Gea membantin sambil menatap matanya sendiri di kaca. Perlahan pandangannya kabur dan pipinya sudah basah tak terhitung berapa butir air mata yang sudah ia teteskan. Salahkah aku hidup? Bodoh...


You may also like

Tidak ada komentar:

Bohong ketika orang bilang tidak suka menulis dan membaca...

karena semua orang penulis dan semua orang pembaca...

Monggo Mampir

Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan(s)