ambi ku i tas

/
0 Comments
menyudut tak menyulut
Kami sengaja duduk di tempat duduk yang menyudut di sebuah kafe. Tidak. Kami tidak mau "mojok" supaya orang bisa ngintip aktifitas yang kami lakukan. Kami sama-sama benci kerumunan dan keramaian. Kami suka menyenandungkan sepi sebagai pengiring.

Hanya tiap kali menatap manusia ini yang mungkin di luar nyawaku dan andai aku mengganda seperti makhluk mikroskopis, mungkin aku tak seharusnya bertemu dengannya. Di luar akal yang orang bilang kurang bermakna mengatasnamakan ke-normal-an...

Aku akan bilang aku normal. Orang bilang aku gila. Orang bilang aku habis akal.

Tapi orang tetaplah orang. Mereka punya nikmat dan gila masing-masing. Satu orang yang mengakar dalam tanah ruangnya. Berpindah dari tanah tuannya.

Inilah tanah ruangku. Sama seperti yang lain. Tapi hal yang "terdiri dari" aku tak sama. Kuyakin tidak sama.

Ah, bicara apa aku ini. Aku hanya menyimak matanya yang cokelat. Diam-diam bersimpuh di hadapannya. Diam-diam aku mengeratkan kakiku ke tanahnya. Diam-diam aku mengayun-ayunkan kakiku di kolam cokelatnya.

Hening menjadi candu. Untuk mungkin orang yang akan habis pikir untuk apa kami menjadikan hening itu morfin dan aroma kami seperti embusan mariyuana (memangnya seperti apa sih?).

Kalian tak tahu kami candu.

ambiguitas

bukan

ambikuitas


You may also like

Tidak ada komentar:

Bohong ketika orang bilang tidak suka menulis dan membaca...

karena semua orang penulis dan semua orang pembaca...

Monggo Mampir

Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan(s)