That’s What Friends Are For

/
0 Comments
That’s What Friends Are For

Hari ini semua pelajaran ditiadakan. Sorak-sorai anak-anak kelas XI IPS 2 yang terkenal kelas paling kacau, hancur, berantakan, dan tidak lupa masuk dalam daftar black list guru-guru di sekolah ini. Dari dulu aku sudah terbiasa mendapatkan kelas yang kacau seperti ini. Aku ini memang terkenal pendiam, tapi kadang-kadang penyakit anak-anak kelasku menularkan aku untuk menjadi anak yang bandel. Wali kelasku, Ibu Virna masuk ke dalam kelasku. Beliau masih tergolong guru muda di sekolah. Selalu saja memanjakan anak-anak, maka dari itu beliau dijuluki Mother of Teacher di sekolah ini. Kami selalu memanggilnya dengan sebutan “Mami”. Sering sekali di kritik guru, bahkan dimarahi guru.

“Halo anak-anak! Diam sebentar,” teriak Ibu Virna dari depan kelas.

“Siap, Mam!” jawab anak-anak kemudian serentak diam semua.

“Sekolah akan mengadakan lomba menyanyi dalam rangka acara ultah sekolah kita yang ke-40. Pilihan temanya persahabatan, ucapan syukur, dan kegembiraan. Mau pilih yang mana?” tanya Ibu Virna.

“Yah! Nggak asyiik neh! Temanya rock and roll baru enak,” kata Ozza sambil menggebuk mejanya.

“Laga lu tuh! Temanya kebahagiaan aja!” sahut Ninda. Wah! Kelasku sekarang ribut seperti di kandang bebek. Ibu Virna tersenyum kebingungan mendengar usul anak-anak yang aneh-aneh.

“Temanya persahabatan aja ya! Kita ‘kan satu kelas kompak semuanya. Kita tunjukin dong kekompakan kita ke yang lain. Walaupun kelas kita ancur, kita tunjukin potensi kita!” kata Ernan tiba-tiba menjadi penengah.

“Ibu setuju dengan pendapat kamu. Kalian setuju atau tidak dengan pendapat Ernan?” tanya Ibu Virna.

“Setuju, Mam!” sahut anak-anak dengan semangat.

“Tumben lu pinter, Nan!” kata Jojo menjitak kepala Ernan. Dan pada akhirnya kelasku menetapkan bahwa lagu yang akan dibawakan adalah lagu “That’s What Friends Are For”. Kukira nanti pasti ada perdebatan yang sangat ketat. Akankah itu terjadi? Ternyata benar…




Aku duduk di meja makan sambil melamun. Aku ingin sekali mengubah struktur lagu yang akan dinyanyikan nanti menjadi lagu kombinasi. Pertama-tama lagu yang dinyanyikan jazz tapi slow dan akan menjadi lagu pop. Menyenangkan bukan?!

“Heh! Bengong aja, kamu lagi ngelamunin apaan?” suara Mama membangunkan lamunanku. Aku menggeleng sambil tersenyum.

“Aulia, kamu jangan ketularan sama anak-anak kelas kamu yang bandel itu yah. Mama nggak suka sama kelakuan anak-anak kelas kamu. Berandal aja kayak preman. Ingat ya! Jangan berhubungan sama mereka,” kata Mama sambil memakan sesuap nasi ke dalam mulutnya.

“Kita berteman sama siapa aja ‘kan boleh, masa sampe dibatesin segala? Lagian aku ‘kan lagi mikirin buat lomba padus kelasku,” kataku menyambar omongan Mama.

“Kamu boleh temenan sama siapa aja. Tapi nggak untuk anak sekelas kamu! Mama nggak mau kamu ikutan berandal,” kata Mama lebih tegas lagi.

“Aku nggak mau jadi orang lain. Be your self aja deh. Nggak usah ngikutin apa yang orang lain suruh buat merubah sikap,” kataku dengan nada yang meninggi. Mama pun terdiam, mungkin saking kesalnya padaku.

Aku tinggal berdua dengan Mama sejak 8 tahun lalu. Mama dan Papa bercerai karena orang tua Papa tidak merestui hubungan mereka. Padahal Mama dan Papa masih saling mencintai. Menyakitkan bukan?

“Mama nanti nonton aku lomba padus ya minggu depan di sekolah. Ajak Papa sekalian,” kataku senang.

“Mama nggak akan nonton karena kamu udah nggak mematuhi perintah Mama! Mama akan menonton kalo kamu nggak ikut lomba padus bersama kelas kamu itu!” tegas Mama.

“Itu sih sama aja bo’ong. Bete ah!” kataku sambil berlalu menuju kamar. Menyebalkan! Hanya gara-gara aku sekelas sama anak-anak berandal di kelas, aku tidak diperbolehkan ikut lomba padus. Sungguh konyol sekali! Gimana kalo gue telepon Papa, mungkin dia bisa ngerti, desisku dalam hati. Kupencet tombol nomor telepon Papa. Ayo dong cepet angkat! Klik! Tersambung akhirnya.

“Maaf, nomor yang Anda tuju tidak menjawab panggilan Anda…” operator itu yang menjawab. Menyedihkan! Sekali lagi. Harus diangkat! Harus diangkat!

“Halo?” sahut Papa di seberang sana. Thanks God!

“Halo, Papa! Nonton aku lomba padus di sekolah minggu depan ya! Mama nggak mau nonton nih,” bujukku kepada Papa.

“Wah! Mau nonton dong. Kok Mama nggak mau dateng? Ntar Papa bujuk deh, gampang!” kata Papa. Aku melonjak kegirangan. Tak biasanya aku segirang ini, entah mengapa.

“Nggak ada lomba!” teriak Mama dari depan pintu. Aku tertegun mendengar teriakan Mama. Tubuhku lemas kembali menatap tatapan Mama yang penuh amarah.

“Ntar aku telepon lagi,” kataku sambil menutup ganggang telepon. Aku tertunduk dan membisu seribu bahasa mendengar omelan Mama selama kurang lebih setengah jam.



Hari ini terjadi perdebatan sengit antara Ozza dan David. Ozza menginginkan tidak ada kombinasi lagu, sedangkan David menyetujui adanya kombinasi lagu. Sepertinya pendapat yang kulontarkan memicu perdebatan ini, aku merasa bersalah. Lagi-lagi aku tertunduk dalam keramaian ini. Aku harus turun tangan dan bertanggung jawab atas semua ini.

“Ozza sama David udah jangan berantem. Terserah deh lo mau terima pendapat gue ato nggak, gue nggak apa-apa. Tapi jangan berantem,” kataku sambil menengahi mereka berdua.

“Udah lu nggak usah merasa bersalah, Aulia. Sekarang kita udahin dulu aja perdebatannya! Sekarang voting siapa yang pilih adanya kombinasi lagu dari jazz ke pop?!” kata David meredakan emosi. Ternyata banyak yang menyetujui adanya kombinasi lagu. Ozza sangat malu dan akhirnya ia angkat bicara.

“Oke?! Kalo semuanya begini caranya gue nggak akan ikutan lomba,” kata Ozza sambil berlalu keluar kelas. Aku makin merasa bersalah dalam keadaan seperti ini. Jojo mulai bertindak, ia mengejar Ozza. Aku mengikutinya dari belakang.

“Aulia! Lu mau kemana?” tanya Nagita cemas.

“Gue mau kejar Ozza. Walau gimana pun ini salah gue. Gue harus bertanggung jawab,” kataku dengan suara gemetar menatap ke arah anak-anak XI IPS 2.

“Ya udah, yang lain latihan di sini, kita tentuin siapa yang pegang keyboard, gitar, bass, dan drum. Semuanya masuk,” kata David. Ia menatapku.

“Aulia, ide lu bagus. Jangan merasa bersalah kayak gitu,” kata David mengacungkan jempol padaku. Aku tersenyum dan langsung melanjutkan tujuanku, mengejar Ozza.

Aku panik sekali melihat Ozza marah-marah seperti itu. Mataku mulai berair dan meneteslah air mataku. Walaupun David mengatakan bahwa aku tidak usah merasa bersalah, tetap saja aku merasa sangat bersalah. Aku diam dan mendengar teriakan suara laki-laki yang marah, sepertinya Ozza. Suaranya terdengar samar-samar dan sepertinya di WC pria. Aku berlari menuju WC pria.

“Terus aja David ngatur-ngatur di kelas. Semuanya yang dia mau dipenuhin. Siapa sih ketua kelasnya?! Gue ‘kan,” kata Ozza. Sepertinya ia menonjokkan tangannya ke tembok. Kudengarkan pembicaraan Ozza dan Jojo di depan pintu kamar mandi. Air mataku kali ini mengalir deras tak tertahankan.

“Lu harus berusaha mengharagai pendapat orang lain. Siapa tau aja dengan pemilihan vote tadi kelas kita bisa tampilin performnya semaksimal mungkin,” kata Jojo memberikan pengertian kepada Ozza.

“Sama aja lu kayak David! Ngapain lu pentingin keadaan gue?!” kemarahan Ozza mulai membara. Tiba-tiba terjadi keheningan. Sepertinya tangisanku didengar oleh Jojo dan Ozza. Pintu WC dibuka. Mereka berdua melihat aku tertunduk. Ozza dan Jojo menenangkan aku yang menangis tersedu-sedu. Mereka mengajakku ke kantin dan membelikan aku minuman.

“Kok lu beliin soda sih, Jo?” tanya Ozza bingung.

“Emang kenapa?” tanya Jojo bingung.

“Beliin teh dong,” kata Ozza. Aku bisa merasakan kelembutan dan perhatian kedua temanku ini. Mereka sangat perhatian pada yang lemah. Ozza menepuk bahuku. Kali ini tangisanku mereda.

“Oz, maafin gue. Gara-gara gue lu jadi berantem sama David,” kataku pelan dengan suara yang serak.

“Oh, santai aja. Orang berpendapat wajar ‘kan? Sekarang gue juga dah sadar. Berkat air mata lu itu gue jadi bisa menerima pendapat orang,” kata Ozza tersenyum.

“Dedek Aulia, jangan nangis melulu. Nanti matanya bengkak lho. Sekarang mimi teh dulu,” kata Jojo menyodorkan teh yang dibelinya. Ia memperlakukan aku seperti anak kecil. Aku tertawa kecil mendengarnya.

“Thanks yah. Udah tenangin gue,” kataku pelan sambil meneguk teh itu.

“Gue baru tau orang kayak lu tuh bisa nangis juga,” kata Jojo. Kulihat Ozza mengiyakan perkataan Jojo.

“Dan gue baru tau. Orang yang paling bandel di kelas punya ati juga,” sambarku. Kali ini aku bisa merasakan apa arti dari persahabatan. Jojo melihatku tanpa berkedip-kedip. Aku pura-pura tidak melihat saja. Rasanya berdebar-debar kalau ditatapi seperti itu.

“Ngapain lu liatin gue?” kataku benar-benar tidak tahan dilihati Jojo.

“Kayaknya gue harus balik ke kelas deh. Mau minta maaf sama David. Dada…” kata Ozza sambil tersenyum meledek. Wah! Bahaya, aku dijebak nih.

“Walaupun lu nangis tetep cantik kok,” kata Jojo menatapku sambil tersenyum ramah. Hatiku luluh, jantungku berdebar-debar, wajahku panas, dan mungkin pada saat itu wajahku memerah. Mampus! What should I do now?

“Apaan sih lu ngegombal aja,” kataku berpaling darinya.

“Ia cantik walaupun ada ingus ijo di hidung. Ha…ha…ha…” katanya sambil menyodorkan sapu tangannya. Aku sangat malu sekali! Dasar bodoh! Kututup hidungku dengan telapak tanganku.

“Eh? Itu ‘kan sapu tangan lu? Jorok dong nanti kalo gue ingusin,” kataku sambil menolak tawarannya.

“Selamanya lu mau kayak begini? Ambil aja abis itu lu cuci,” katanya sambil meletakkan sapu tangannya di meja kantin dan berlalu menuju ke kelas. Aku tercengang melihat kebaikannya. Kulihat tubuhnya dari belakang yang makin menjauh. Bahunya lebar dan tubuhnya atletis. Ya, iyalah! Dia ‘kan masuk tim basket sekolah. Kuhilangkan ingusku dari hidungku dengan sapu tangan Jojo.

Ketika aku datang ke kelas, semuanya berlatih dengan serius dan sungguh-sungguh. Baru kali ini kulihat kelasku benar-benar teratur. Lietha melihatku dan langsung mengajakku ke dalam kelas untuk latihan.

“Wei! Kita udah nentuin nih ,Li. Yang pegang keyboard Nagita, bass ada Nino, drum Jojo, sekarang kurang gitarisnya. Pada nggak bisa main gitar. Apa nggak usah ada bass supaya Nino bisa main gitar?” tanya David padaku.

“Yah! Gue main gitarya nggak lancar. Jangan gue donk gitarisnya,” tolak Nino.

“Gue aja yang pegang,” kataku mengajukan diri. Semua anak-anak tercengang melihatku.

“Emang lu bisa main?” tanya David meragukan aku.

“Bukan Aulia namanya kalo nggak bisa main gitar!” kata Jojo menyambar. Semuanya menetapkan bahwa akulah gitaris. Aku tersenyum. Dan latihan pun dimulai. Ibu Virna terlihat sangat senang sekali menyambut perlombaan paduan suara ini.



Benar-benar tidak terasa perlombaan itu 2 hari lagi. Aku benar-benar sangat gugup. Rasa tegang itu terasa sekarang. Guru-guru menganggap remeh kelasku dan Ibu Virna. Tetapi anehnya Ibu Virna menanggapi semuanya itu dengan senyuman.

Lagi-lagi aku bertengkar dengan Mama. Mama bersikeras supaya aku tidak mengikuti lomba paduan suara itu. Sedangkan aku sebaliknya. Aku bersikeras ingin mengikuti lomba itu.

“Mama nggak usah lagi ngatur-ngatur kehidupan aku. Aku mau bergaul sama berandal, pengemis, tukang loak juga terserah aku,” kataku melawan Mama.

“Aulia! Berani sekali kamu?!” Mama membentak aku lebih keras. Aku langsung berlalu menuju kamar. Aku ingat kata-kata Papa yang menjanjikan Mama untuk datang nonton perlombaan paduan suara. Pelupuk mataku sudak tak tahan membendung air mataku. Buyarlah semua tangisanku ini. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Kuputuskan untuk menelepon Ibu Virna. Kupencet tombol-tombol nomor telepon Ibu Virna di handphoneku.

“Halo? Virna di sini,” sahut Ibu Virna dari seberang sana.

“Mami Virna, ini Aulia,” kataku dengan suara yang serak.

“Kenapa kamu sayang? Ada masalah?” tanya Ibu Virna hati-hati.

“Mama saya nggak ngebolehin ikut lomba padus gara-gara saya sekelas sama anak-anak berandal. Saya kesel banget, Mam,” kataku sambil menyeka air mata.

“Hari ini Ibu akan datang ke rumah kamu dan memberikan penjelasan kepada Mama kamu. Oke?” kata Ibu Virna memutuskan datang ke rumahku.

“Makasih banget ya, Mami!” kataku bersemangat.

Dua jam kemudian terdengar suara bel. Ibu Virna datang! Akhirnya setelah kutunggu. Kulihat Mama membukakan pintu dan mempersilakannya masuk. Aku melihat mereka berbincang-bincang. Mama menyambutnya dengan ramah, bahkan ada canda dan tawa di tengah perbincangan mereka. Tidak ada emosi yang muncul dalam pembicaraan mereka. Ketika Ibu Virna pulang tidak juga diusir oleh Mama. Ibu Virna berpamitan dengan sopan dan Mama menanggapinya dengan ramah. Aneh?! Apa-apaan ini?!



Satu hari menjelang perlombaan dimulai, aku memang benar-benar sangat tegang. Latihan terlihat cukup maksimal dan kelihatan keren. Ada tariannya, macam-macam kreatifitas dikeluarkan sepenuhnya.

“Nanti sore ada latihan lagi jam 5! Oke deh, sampe sini dulu!” kata Ozza menyudahi latihan ini. Kuseka keringat yang mengalir di pipiku. Rasanya hari ini aku lelah. Sepertinya darah rendahku kumat lagi. Jojo memegang lenganku.

“Keringet dingin?! Lu sakit ya?” tanyanya khawatir padaku.

“Nggak-nggak apa. Gue udah biasa, darah rendah gue lagi kumat,” kataku lemas. Aku terduduk lemah di lantai.

“Aulia, lu kenapa?!” tanya Nagita memegang lenganku. Aku hanya menggeleng. Aku tak kuat berdiri lagi, tanganku hanya menelungkupi kakiku.

“Gue nggak bisa jalan,” kataku pelan. Jojo dan David memapahku menuju UKS, sedangkan Nagita membawakan tas ranselku. Untuk menuju ke UKS aku harus menuruni 2 lantai lagi.

“Gue bisa jalan sendiri. Gue nggak mau ngerepotin lu pada,” kataku sambil melepaskan peganganku dari Jojo.

“Eh, jangan dong! Katanya lu nggak bisa berdiri. Nanti kalo jatuh besok nggak bisa tampil,” kata Jojo memegang erat tanganku.

“Iya, lu ‘kan awal dari awal ide bagus ini,” tambah Ernan. Aku tersenyum.

Ketika melanjutkan perjalanan meuju lantai 1, aku terkapar jatuh pingsan. Aku tak sadar lagi apa yang sudah terjadi. Entahlah aku mau dibawa kemana aku tak peduli.



Kubuka kedua mataku perlahan-lahan. Dimanakah aku?! Aku memakai baju piyama biru? Ada infus? Di rumah sakit? Ada Jojo dan Ibu Virna? Ya ampun!

“Jojo! Gue kenapa?” tanyaku terkejut dengan keadaanku.

“Tekanan darah lu rendah banget. Lu harus rawat inap di sini. Yaah, sayang deh besok lu nggak bisa tampil,” katanya kepadaku.

“Tapi yang main gitar siapa?” tanyaku cemas.

“Mami kita,” kata Jojo. Ibu Virna tersenyum dan membelai rambutku. Aku merasa sangat bersalah. Semuanya kukecewakan dengan keadaanku seperti ini. Terlihat Mama dan Papa datang melalui pintu kamar.

“Mama udah duga deh kamu begini,” kata Mama cemas. Mama tersenyum kepada Jojo dan Ibu Virna.

“Mama sebenernya bolehin aku lomba nggak sih?” tanyaku penasaran.

“Yah berkat Ibu Virna ini Mama izinkan. Ibu Virna ngejelasin kalo kelas kamu mau tunjukin potensi,” kata Mama.

“Tapi aku akhirnya ‘kan nggak jadi ikut lomba,” kataku lemas.

“Ya sudahlah, nggak apa-apa. Namanya juga pengalaman si sakit yang tak mengikuti lomba,” kata Papa menyelutuk.

“Gue jadi nggak enak sama anak-anak, Jo. Gimana dong?” tanyaku mennggenggam tangan Jojo. Jojo hanya tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara nyanyian “That’s What Friends Are For”. Ternyata anak-anak kelas XI IPS 2. Aku tertawa senang.

“Maaf ya! Gitaris jadi ganti deh gara-gara gue sakit,” kataku.

“Santai aja! Gitarisnya sekarang jadi tua,” sahut Ozza. Tawa anak-anak mengundang Security Guard rumah sakit mengusir mereka. Dasar anak-anak XI IPS 2.



Aku mendapat izin dokter menonton perlombaan paduan suara di sekolah. Betapa menggembirakannya! Aku ingin melihat hasil dari segala hasil buah ideku ini. Aku dijemput oleh Jojo, Nagita, David, dan Ozza. Mama dan Papa datang agak telat karena ada urusan kantornya.
Suasana di aula sekolah hening. Banyak sekali orang yang menonton pertunjukkan ini. Aku duduk di kursi nomor 2 dari depan. Tibalah saatnya penampilan kelasku. Jantungku ikut berdebar-debar. Semuanya sama seperti latihan. Tiba-tiba Jojo maju ke depan dan berbicara.

“Pagi temen-temen, oom, tante, guru-guru! Kita anak-anak XI IPS 2 memang terkenal kelas yang paling ancur, kacau, bahkan kena black list guru-guru. Dari sini kita mau tunjukin potensi kita dari lomba ini. Judul lagu yang akan kita bawain That’s What Friends Are For. Lagu ini membuat kehidupan nyata buat anak-anak XI IPS 2. Karena dalam lagu ini terjadi perdebatan sampai menimbulkan tetes air mata buat temen kita. Gitaris kita aslinya Aulia, cuma diganti sama Mami Virna. Aulia kemarin darah rendah terus dibawa ke RS sama anak-anak dan Mami. Kita berterima kasih banget buat Aulia karena dia cikal bakal dari lagu ini dan proses pembuatannya berkat idenya. Orangnya sih ada di sini, dia dapet izin dokter buat nonton lomba ini. Aulia cepet sembuh dan lagu ini kita persembahin buat lu. And I want to say I love you,” kata Jojo panjang lebar. Kata-kata terakhir membuatku tersenyum dan tersipu malu. Semuanya menatap ke arahku dan bersorak menggoda. Aku menyadari bahwa aku menyukai Jojo.
Lagunya pun dimulai. Terdengar suara lembut sang solis, Catharina. Ia menatapku penuh hangat. Aku tersenyum lebar dan melambai pelan ke arahnya. Dan inilah saat-saat yang ditunggu. Kombinasi jazz menjadi pop. Keren sekali! Aku takjub melihatnya. Tak ada satu wajah yang menunjukkan ketegangan. Perfect! Seperti yang kuharapkan sebelumnya.
Aku menuju belakang panggung. Kulihat wajah-wajah gembira mereka. Kuacungkan jempol. Anak-anak memelukku. Kutatap Jojo yang tersenyum malu padaku.

“Tancep, Jo!” teriak Gerry menepuk punggung Jojo. Aku bingung melihat semuanya itu. Semuanya menyingkir dan tinggal Jojo dan aku.

“Inget, Jo. Pede!” kata Ibu Virna tersenyum. Jojo meggaruk-garuk kepalanya. Aku duduk di atas meja yang ada di dekatku.

“Pada ke mana sih?” tanyaku.

“Nggak tau. Hm… Aulia, lu mau nggak ng..” kata Jojo gugup dan salah tingkah. Aku menatapnya bingung.

“Mau jadi pacarku?” tanyanya perlahan-lahan. Aku tertegun, mataku melotot. Kuberpikir sejenak dalam keheningan.

“Kalo kelas kita juara I gue terima,” kataku sambil tersenyum dan berlalu. Jojo kaget mendengarkan perkataanku. Wajahnya berubah ketakutan. Takut jika kelas kita kalah.
Inilah saat-saat yang ditunggu-tunggu semua anak. Pengumuman pemenang. Bapak Warsito maju ke depan membacakan pengumuman. Kalau membacakan pengumuman biasanya beliau langsung to the point, tidak lama-lama.

“Langsung saja yah. Juara ketiga kelas X-1, juara kedua XI IPA 1, juara pertama? Juara Pertama kok XI IPS 2?” katanya sambil terbingung-bingung melihat kertas pengumuman kejuaraan. Semuanya bersorak-sorai. Aku tersenyum mendengar juara pertama kelasku. Kelas yang hancur dan kacau.

“Aulia, jawabannya?” tanya Jojo secara tiba-tiba. Aku mengangguk. Semuanya bergembira mendengar aku menerima tawaran Jojo. Terlihat juga Mama dan Papa tersenyum menatapku. Semuanya meledekku dan Jojo. Walau begini aku juga harus masuk rumah sakit lagi. Takkan pernah kulupakan kejadian ini. Kejadian yang paling takjub dan menyenangkan. Ada amarah, air mata, tawa, kecemasan, kesulitan, dan kegembiraan bercampur menjadi suatu hasil yang takjub dan mengejutkan.


TAMAT


You may also like

Tidak ada komentar:

Bohong ketika orang bilang tidak suka menulis dan membaca...

karena semua orang penulis dan semua orang pembaca...

Monggo Mampir

Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan(s)