Pilih Mimpi atau Nyata??

/
0 Comments
Apa perasaanmu bila kamu selalu dikekang atau dibatasi? Apa yang kamu rasakan bila kamu ingin memperjuangkan impianmu tetapi selalu ada halangan? Aku ingin meraih impianku. Impianku sejak lama dan kini belum terwujud.
Setiap orang pasti memiliki impian. Pikiranku selalu melayang-layang ketika aku sedang sendirian. Aku ingin memenuhi satu impianku diantara ribuan impian lainnya. Satu saja dan tidak berlebihan. Aku ingin menjadi seorang penulis. Aku senang berimajinasi hal-hal aneh. Itu yang kulakukan setiap kali aku sendiri. Tetapi impianku ini dikekang oleh Mama dan Papa. Bahkan kakakku, Kak Retta, selalu menertawakan aku. Mereka selalu berkata, “Nggak mungkin kamu menjadi seperti JK. Rowling! Jangan mimpi kamu.”
Aku memfokuskan pandangan mataku pada setiap huruf pada keyboard komputer. Tik, tik, tik, tik. Kudengar detikan jarum jam yang menempel di dinding. Sudah jam setengah sebelas malam. Mataku juga sudah mulai memunculkan tanda-tanda ingin istirahat.
“Nanda! Sampai kapan kamu mau nongkrong di depan komputer? Besok kamu harus sekolah,” kata Mama yang tiba-tiba muncul di belakangku. Aku terlonjak dari tempat duduk.
“Ii...iya, Ma. Baru mau tidur,” jawabku gelagapan.
“Apa yang kamu kerjakan? Tugas sekolah? Sampai ratusan halaman lebih begitu ketikannya,” tanya Mama.
“Novel,” jawabku singkat.
“Untuk apa sih kamu membuat novel? Buang-buang waktu saja. Lebih baik kamu belajar daripada mengetik novel yang tidak penting seperti itu. Mama sudah pernah bilang, jangan pernah kamu nongkrong di depan komputer kecuali pekerjaan sekolah! Bisa-bisa matamu rusak,” kata Mama panjang lebar.
Telingaku bisa-bisa tuli. Setiap saat aku mengetik novel pasti dikomentari. Ini memang kesenanganku, ini hobiku, dan ini minatku. Minat dan hobiku ini tidak boleh dibatasi oleh siapapun, karena itu hakku. Lagipula menjadi seorang penulis novel adalah hobiku sejak SMP dan sekarang aku sudah kelas dua SMA.
Setelah mematikan komputer, aku berjalan menuju ke kamarku. Kuhempaskan tubuhku ke kasurku. Mengapa Mama tidak menyukai hobiku ini? Menurutnya hobiku ini tidak menghasilkan uang yang banyak, tidak penting, dan tidak berguna. Menyebalkan. Aku harus memenangkan lomba itu. Ya, lomba yang diselenggarakan oleh suatu perusahaan toko buku yang terbesar di Indonesia. Perusahaan itu menyelenggarakan lomba menulis novel remaja dan aku mengikutinya tanpa sepengetahuan Mama dan Papa. Bisa-bisa aku kena marah mereka bila aku memberitahu soal ini.
“Hey! Belum tidur?” suara Kak Retta mengagetkanku. Tiba-tiba saja kepalanya muncul di ambang pintu.
“Ah, Kak Retta! Buat aku kaget saja. Ada apa?” tanyaku. Kak Retta masuk ke kamarku dan berjalan berjingkrak-jingkrak ke arahku lalu duduk di tempat tidurku. Dari tingkahhnya kuyakin dia pasti sedang senang.
“Girang banget kelihatannya?” tanyaku.
“He-eh... Aku diterima jadi asdos di kampus. Hahaha...” jawabnya.
“Asdos?”
“Iya! Asisten dosen.”
“Hebat dong. Kelihatan seperti orang pinter dong buntutin dosen terus. Memangnya kenapa sih mau jadi asdos?” tanyaku lagi.
“Iyalah, aku juga pingin tau kerjanya dosen lelahnya kayak apa. Aku juga cita-citanya mau jadi dosen. Yaa kalau nggak dosen ya guru. Mama juga senang aku jadi asdos. Malahan Mama menyarankan aku jadi asdos sejak aku kuliah. Senang banget deh,” jawabnya sambil memeluk bantalku. Kata-kata Kak Retta membuatku berpikir sejenak. Mengapa Mama bisa mendukung Kak Retta, sedangkan aku yang bercita-cita menjadi penulis saja tidak didukung.
“Senang ya, apalagi Mama dukung. Aku saja yang bercita-cita menjadi penulis nggak didukung. Kak Retta jangan bilang-bilang yaa... Aku mau ikut lomba menulis novel. Tadi saja Mama marah-marah lihat aku mengetik novel,” kataku.
“Mimpi kali kamu kalau bisa seperti Rachmania Arunita. Mama pikir kalau menjadi seorang penulis itu nggak penting dan penghasilannya sedikit. Kalau boleh tahu judul novel kamu apa?”
“Judulnya? Judulnya itu “Lautan Mimpi”. Kakak bisa lihat di folderku di komputer. Ada juga novel-novel yang lainnya,” kataku.
“Kapan-kapan aku lihat deh. Hahaha...”
*****
Akhirnya pelajaran terakhir berakhir. Pelajaran yang paling tidak kusukai. Apalagi kalau bukan Fisika? Rumus, rumus, dan rumus. Aku pusiiinggg!!! Dan sekarang, setelah jamnya pulang sekolah, aku harus bertugas menjadi penjaga perpustakaan sekolah.
“Siang, Pak!” sapaku kepada Pak Dido yang sedang asyik di depan komputer.
“Oh, Nanda! Siang. Bagaimana novel kamu? Sudah jadi atau belum? Nanti kalau sudah selesai Pak Dido kirim,” kata Pak Dido.
“Belum, Pak. Mama saya selalu nggak bolehin saya buat meengetik novel. Jadi ada kendala nih. Selalu terganggu. Hahaha...” kataku sambil meletakkan tasku.
“Ya ampun, kasihan kamu. Eh, bapak mau pulang dulu. Kamu tolong matikan komputernya ya. Terus nanti kamu jangan lupa kunci ruang perpustakaan sebelum pulang,” kata Pak Dido sambil membenahkan perangkasnya.
“Sip, bos!” kataku.
Baru saja Pak Dido melangkahkan kakinya keluar dari ruang perpustakaan, beliau memukul kepalanya dengan tangan lalu kembali lagi.
“Bapak lupa, nanti ada jurnalis mahasiswa yang mau kemari, tolong kasih dokumen ini ya ke orangnya. Bapak pulang dulu,” kata Pak Dido sambil memberikan map merahnya kepadaku.
Kuletakkan map merah itu di meja petugas perpustakaan. Perpustakaan sudah mulai sepi. Masih ada empat lima orang yang masih asyik membaca di perpustakaan. Diantaranya sih ada yang sedang asyik berpacaran.
Aku berjalan menuju rak-rak buku yang berantakan tidak keruan. Seperti biasa, para siswa tidak membereskannya kembali jika meminjam buku. Kulihat Lintang, sahabatku, celingak-celinguk kebingungan. Pasti mencariku. Kudiamkan saja, toh nanti dia melihatku. Benar saja, dia berlari menghampiriku.
“Nanda caayaaang!” sapanya manja gelayutan di pundakku.
“Lin, kamu nggak lihat nih aku banyak kerjaan?” kataku sedikit judes padannya.
“Iya, aku bantu. Habisnya aku cari kemana-mana kamu nggak ada. Aku kangen tahu sama kamu!” katanya sambil merapikan buku-buku di rak yang lain.
“Dasar! Baru satu jam yang lalu nggak ketemu udah kangen,” kataku.
Keadaan perpustakaan kini sudah kosong melompong, kami duduk di salah satu kursi sambil membaca majalah. Jam dinding perpustakaan menunjukkan pukul 15.15. Sudah dua jam lebih aku menunggu jurnalis yang dimaksud Pak Dido. Hatiku mulai kesal menunggu lama jurnalis itu.
Aku sedang membutuhkan hiburan saat ini. Nilai-nilaiku hancur lebur seperti api yang menyala, alias banyak angka merah. Mama dan Papa melarangku untuk bepergian ke sana kemari, bahkan aku tidak boleh pergi ke toko buku untuk membeli novel.
“Bagaimana novelmu sudah selesai?” tanya Lintang padaku.
“Sedikit lagi, tinggal satu bab lagi. Aku tidak bisa menyelesaikan secepat mungkin karena Mamaku sering melarangku untuk melanjutkan karangan novelku. Aku bisa gila nih!” kataku panjang lebar.
“Aku mendukungmu sepenuhnya! Aku yakin kamu bakal menang,” kata Lintang dengan suara yang sangat yakin.
Ya, dia sahabat terbaikku. Apapun yang aku lakukan ia selalu mendukungku selama hal yang kulakukan positif. Ia tidak bosan membaca novel-novel yang kubuat. Ia menyarankannya untuk menerbitkan novelku, tetapi aku menolaknya. Bisa-bisa aku diusir dari rumah kalau ketahuan Mama aku menulis banyak novel. Mama tidak pernah mendukung hal yang ingin kulakukan.
“Lintang, pulang saja yuk. Aku malas menunggu jurnalis itu,” kataku memutuskan untuk pulang saja.
“Jurnalis? Jurnalis apa?” tanyanya bingung.
“Tadi Pak Dido menyuruhku menyerahkan dokumen yang ada di map merah itu kepada jurnalis yang mau datang kemari. Tapi sampai sekarang belum datang,” jawabku.
“Lantas, kamu tahu darimana orang yang dimaksud Pak Dido itu?” tanya Lintang.
“Ya dari bajunya, jurnalis tidak memakai baju seragam sekolah. Masa kamu nggak tahu sih? Paling tidak tanya sama orangnya, jurnalis atau bukan,” jawabku sambil meletakkan majalah yang kubaca tadi pada tempatnya.
Kami berdua memutuskan untuk pulang saja daripada berlama-lama di sini kalau jurnalis itu tidak datang.
Aku mengambil map merah itu lalu kubereskan meja petugas perpustakaan. Kami pun bersiap-siap menggendong tas kami untuk pulang. Tidak lupa sesuai pesan Pak Dido aku harus mengunci pintu perpustakaan.
“Maaf, Pak Didonya ada?” tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki dari belakangku. Aku menoleh ke belakang.
“Sudah pulang dari tadi. Maaf, Anda siapa?” tanyaku.
“Saya Tias, jurnalis. Tadi saya mau ambil berkas-berkas kumpulan cerpen dari Pak Dido,” jawabnya.
“Ooh, jadi kamu jurnalis itu ya? Tau nggak sih? Saya disuruh Pak Dido untuk memberikan map ini. Selama dua jam saya menunggu kamu! Kamu kira dua jam itu sebentar? Dua jam kamu bilang itu bagaikan satu menit?”
“Maaf, tadi saya ada urusan di kampus. Saya benar-benar minta maaf. Bisa saya minta map merah itu?”
“Lain kali lihat jam. Kalau perlu tangan kamu diikat jam bom sekalian,” kataku sambil menyerahkan kasar map merah itu.
“Terima kasih,” katanya singkat.
“Saya mau pulang dulu. Lintang, yuk pulang!” kataku sambil menggandeng tangan Lintang.
Lintang melongok seperti sapi ompong menatap Yang Mulia Jurnalis, Tias. Dari tadi tatapannya lurus tertuju padanya. Sekarang begitu kutarik kepalanya masih saja menoleh ke belakang.
“Maaf! Nama kamu siapa?!” tanyanya dari koridor.
Aku tersentak kaget mendengar teriakan itu. Aku menghela napas kesal. Aku ingin cepat-cepat pulang, aku lelah, dan aku ingin tidur. Ingin istirahat dan ingin cepat-cepat sampai di rumah. Terpaksa kubalikkan tubuhku ke belakang.
“Nanda!” jawabku dari seberang koridor.
Di tengah perjalanan pulang, mulut Lintang bagaikan bebek. Ia membicarakan Tias terus menerus, memujanya, dan mengatakan bahwa Tias adalah orang yang paling keren dilihatnya. Aku hanya mengiyakan omongannya. Pusing tujuh keliling aku mendengarkan omongannya. Bayangkan saja mulutnya tak berhenti bicara, bahkan ketika ia sudah sampai di rumahnya tetap saja menyerocos dan membicarakan Tias.
*****
Akhirnya novelku sudah selesai. Tetapi aku tidak akan mencetaknya, itu belakangan saja. Yang penting novelku sudah jadi dan aku tinggal mengkoreksinya. Masakan di depan mataku seakan terasa sangat lezat, karena hatiku sedang girang.
Kini novelku sudah jadi tiga buah. Tapi yang akan kubuat lomba kali ini yang judulnya “Lautan Mimpi”. Novel ini menceritakan bahwa ada seseorang yang berusaha mati-matian mewujudkan mimpinya sampai-sampai ia menghabiskan uangnya. Walaupun uangnya habis ia sangat senang karena impiannya itu menjadi nyata. Impiannya dapat membawa kehidupannya menjadi indah. Semua orang pasti memiliki impian dan janganlah putus asa untuk mendapatkan impianmu walau banyak tantangan.
“Enak ya, makanannya!” kataku pada Mama sambil memakan makanan yang ada di piringku.
“Makanlah yang banyak. Oh ya, tadi pagi komputernya Papa format. Jadi semua data yang ada di komputer hilang,” kata Mama sambil memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
Aku terdiam. Mataku melotot dan aku benar-benar tidak yakin apa yang Mama katakan tadi.
“Apa?” tanyaku sekali lagi.
“Komputernya Papa format, jadi semua datanya hilang.”
Aku benar-benar tidak percaya. Sampai-sampai aku tersedak. Kuminum air yang ada di bejana besar di tengah meja makan. Aku tidak peduli darimana air yang kuminum itu.
“Kamu minum dari gelas kamu dong! Tau sopan santun nggak sih?” kata Mama kesal padaku.
“Jadi semua cerpen-cerpenku, novel-novel yang kubuat, dan tugas-tugas lainnya hilang?!” tanyaku pada Mama.
“Sudah Mama bilang tadi! Hilang semuanyaaa!” kata Mama agak kesal.
“Kok tega sih?! Itu semua hasil kerjaku! Hasil buah pikiranku! Hasil karyaku! Kenapa Papa format komputer tanpa bilang-bilang sih? Novel yang sudah kutulis untuk lomba hilang! Itu semua hasil jerih payahku! Mama benar-benar nggak pernah tau apa keinginan anaknya dan apa potensi anaknya! Aku nggak mau makan!” kataku marah-marah pada Mama sambil memukul meja makan.
“Menjadi seorang penulis tidak akan menghasilkan uang dan tidak akan mencukupi kebutuhan kamu!” teriak Mama padaku.
“Nggak peduli!” teriakku balik.
Bayangkanlah! Ini sudah kelewatan, keterlaluan, dan benar-benar membuatku marah. Sudah banyak cerpen yang kusimpan di folder komputer itu dan kini semuanya hilang. Terutama novel yang akan kukirim lomba! Menyebalkan!
Seharian itu aku tidak makan. Juga makan malam hari itu juga tidak mau keluar kamar. Aku mengunci diri di kamar. Papa dan Kak Retta sudah membujukku, tetapi aku tidak mau makan. Mama juga membujukku, tetapi selanjutnya ia tak peduli lagi.
Perutku sudah keroncongan minta diberikan makan, tetapi kutahan. Biar saja penyakit maghku kambuh. Bukan salahku ini bila maghku kambuh. Ini semua salah Mama yang membuatku mogok makan.
Seharian aku menangis dan kini mataku berkantong., suaraku bindeng, hidungku mampet, dan rambutku acak-acakan. Gila! Inikah yang dinamakan gila? Atau tahap akan menjadi gila? Cerpenku tidaklah sedikit! Tidak bisa terhitung berapa cerita yang kubuat. Kini hilang, tidak ada, dan kosong melompong.
Sudah jam sebelas malam dan besok aku harus sekolah. Satu hal yang mengganjal dalam pikiranku.
Biasanya sebelum aku tidur biasanya aku nongkrong di depan komputer untuk melanjutkan dan mengedit novelku.
“Nanda, ayo dong buka pintunya! Aku mau ngomong sebentar sama kamu,” tiba-tiba terdengar suara Kak Retta dari luar. Aku memutuskan untuk membuka pintu kamarku.
“Ya ampun, muka kamu kenapa tuh?” tanya Kak Retta sambil mengelus rambutku.
“Menuju siklus mengalami kegilaan,” jawabku.
“Ngapain kakak kemari? Mau ngata-ngatain kalau aku nggak bisa jadi kayak JK. Rowling atau Rachmania Arunita? Memang! Sekarang semuanya hilang dan aku kehilangan potensi sebagai penulis. Nggak ada yang dukung keinginanku selama ini! Aku nggak sama kayak Kak Retta yang keinginan Kak Retta didukung sama Mama,” kataku.
“Memangnya dukungan harus secara terus terang diungkapkan? Aku cuma mau kasih ini ke kamu. Ada isinya lho. Terus aku juga sudah menyiapkan makan malam buat kamu. Sudah ya, jangan nangis lagi!” kata Kak Retta. Ia memberiku flash disk 1 GB (gigabyte).
“Isinya apa?” tanyaku.
“Lihat saja! Sudah, ah! Aku mau tidur, besok aku ada matakuliah pagi. Daaa, Nanda! Aku bobo dulu,” katanya sambil berlalu.
“Eemm... Kak Retta! Makasih banyak,” kataku pada Kak Retta. Kak Retta tersenyum padaku. Wajahnya sudah tampak mengantuk. Sepertinya pekerjaan asdos melelahkan.
Tak tanggung-tanggung karena penasaran aku langsung membuka isi flashdisk itu di komputer. Cepat-cepat kunyalakan komputernya dan aku ingin mengecek apa isi dari flashdisk itu.
Jantungku berdebar-debar dan ternyata setelah kubuka. Taadaaa!!! Isi semua folderku! Isi semua file-fileku! Semuanya tersimpan dalam flashdisk ini. Tunggu, novel-novelku dan cerpen-cerpenku juga tersimpan di sini! Aaah! Aku jadi teringat akan kata-kata Kak Retta bahwa dukungan tidak harus secara terus terang diungkapkan.
Kulihat ternyata ada file yang tampaknya bukan milikku. Kubaca file itu, ternyata memang bukan punyaku. Kubaca saja isinya.
“Nanda, ini aku! Aku Retta. Hahaha, senang ya file kamu balik? Kata siapa aku nggak dukung kamu? Memang setiap kali kamu bilang mau menjadi penulis aku selalu ejek kamu. Tapi aku bangga sekali punya adik kayak kamu. Pantang menyerah untuk mengembangkan potensi kamu. Aku sudah baca semua cerpen kamu. Ternyata sangat bagus tauuu!!! Apalagi yang judulnya “Stocking Robek”. Aku bacanya sampai ketawa. Setiap jam satu malam aku selalu baca cerpen-cerpen kamu, terus aku mutusin buat simpan semua file kamu di flashdisk ini. Oke? Aku belum baca novelnya. Habis panjang banget! Nanti kalau kamu menang lomba novelnya, traktir-traktir yaaa... Hahahaha! Luft you!!”
Aku tersenyum membaca ketikan Kak Retta. Selama ini persepsiku salah. Aku senang memiliki kakak sepertinya. Dibalik sifat menyebalkannya, ternyata ia sangat perhatian.
Aku lupa akan perutku yang daritadi menjerit-jerit minta diberi makan dan kini jeritannya makin mengeras. Aku menuju ke ruang makan dan makan sampai kenyang. Dan memang, makanannya enak! Malah semakin enak rasa masakan Mama!
*****
“Pak Dido! Tolong kirim novel saya yaaah! Saya sudah selesai mengedit,” kataku saat kubuka pintu perpustakaan.
“Oh, Nanda. Sudah selesai? Baguslah, ceritain ceritanya dong. Bapak pingin tau. Hehehe,” kata Pak Dido mengambil amplop cokelat besar yang kusodorkan.
“Ada deh! Nggak bakal kukasih tau sebelum ada pengumuman pemenang. Jadinya kan nggak seru,” kataku menolak.
“Dasar! Oh ya, ini Tias jurnalis yang waktu itu. Tias, ini Nanda. Pasti kamu sudah tau,” kata Pak Dido memperkenalkan orang yang duduk di sebelahnya.
Apa? Tias? Orang super ngaret di dunia. Dia lagi. Ini Kedua kalinya aku bertemu dengannya. Kesan pertama saja sudah sangat menyebalkan, apalagi kesan yang kedua kali aku bertemu dengannya.
“Hai!” sapanya sambil tersenyum.
“Halo!” sapaku padanya.
Pertemuan kedua yang garing. Tidak ada apa-apa hanya sapaan. Benar ‘kan? Kurang mengesankan. Kesan yang kurang bisa kuterima.
“Kamu tau nggak? Dia ini jurnalis dari perusahaan toko buku yang menyelenggarakan lomba mengarang novel itu lho. Lomba yang kamu ikuti. Dia kerja sambilan buat tambahan uang saku,” kata Pak Dido.
“Wow! Hebat dong,” kataku agak terkejut mendengar perkataan Pak Dido.
Sepertinya kesan itu bisa kuubah menjadi kesan yang sangat bisa kuterima setelah mendengar perkataan Pak Dido.
“Memangnya kamu umur berapa?” tanyaku pada Tias.
“Baru sembilan belas tahun,” jawabnya.
Ternyata dia beda tiga tahun dari umurku. Hahaha, ternyata tidak beda jauh ya. Kesan kedua kali ini kuberi nilai delapan puluh.
“Ini Venanda Putri yang Pak Dido ceritakan, ya? Ternyata lebih cantik dari dugaan saya,” katanya pada Pak Dido. Pak Dido pun mengangguk.
“Jangan berlebihan!” kataku tiba-tiba.
“Aku suka baca cerpen kamu yang judulnya”Stocking Robek”. Pak Dido sering memberikan karangan cerpen-cerpen kamu kepadaku. Aku menilai kalau kamu punya bakat dan potensi sebagai penulis. Tetapi kenapa kamu nggak coba terbitkan novel kamu?”
“Mama dan Papa selalu mengekang aku. Aku nggak diperbolehkan untuk menulis novel. Menurut mereka cita-citaku menjadi penulis bukanlah cita-cita yang mencerahkan masa depanku. Mereka berpikir menjadi penulis tidak menghasilkan uang.”
“Itu nggak benar! Kata siapa penulis nggak bisa menghasilkan uang? Kamu lihat Rachmania Arunita yang mengarang “Eiffel I’m in Love”? Lihat, novelnya sampai dibuat film. Dan kamu bayangkan gajinya besar, karena novelnya laris!”
“Yaa, aku tahu itu...”
*****
2 bulan kemudian...
Pagi-pagi sekali aku menunggu koran datang di pagar rumah. Hari ini adalah pengumuman lomba mengarang novel. Jantungku berdebar-debar menunggu Bang Dwi, tukang loper koran, di depan pagar rumah. Ini hari Minggu dan tidak biasa aku bangun jam lima dan sudah setengah jam aku menunggu. Dimana sih Bang Dwi? Lama sekali! Aku memutuskan untuk duduk di depan pagar. Masa bodoh kalau terlihat seperti pengemis.
Tiba-tiba terdengar suara motor mendekat kemari dan kuyakin itu Bang Dwi. Aku berdiri dan melambai-lambaikan tanganku ke arahnya.
“Eh, Neng Nanda! Ngapain pagi-pagi sudah nongkrong di depan pagar? Kayak orang minta-minta saja,” kata Bang Dwi sambil menyerahkan koran itu kepadaku.
“Bang Dwi lama banget! Aku sudah menunggu di sini dari tadi!” kataku mengomel.
“Saya dari kantor mah jam lima. Memangnya ada apa?”
“Ada perngumuman lomba pemenang,” jawabku.
“Eh, saya mau antar semua koran ini dulu. Kalau nggak, gaji saya bisa-bisa dipotong nih. Saya cabut yaa,” kata Bang Dwi menjalankan motornya.
“Terima kasih ya, Bang!” kataku.
Aku berlari ke kamar dan kunyalakan lampu kamar. Aku mencari-cari setiap halaman koran. Diman, dimana, dimana pengumuman itu? Dari tadi aku membolak-balikkannya tidak ada. Ah! Ini dia halaman terakhir! Ada! Sebentar... Juara pertama, Juwana Grista. Juara kedua Umar Twiastuti. Ehm... Kenapa tidak ada?! Juara ketiga... VENANDA PUTRI! Lihat namaku tertera di juara ketiga!
“MAMA! PAPA! KAK RETTA! AKU MENANG!!!” teriakku keras dari kamar. Emosiku meledak gembira melihat namaku.
“Ada apa?! Ada apa?!” tanya Mama panik, disambung Papa dan Kak Retta yang panik melihatku melompat-lompat di atas tempat tidur.
“Kata siapa aku nggak bisa jadi penulis novel?! Aku juara ketiga lomba mengarang novel se-Indonesia! Lihat! Lihat! Aku mendapatkan hadiah sebesar sepuluh juta! Asyiiik!!! Lihat itu!” kataku sambil melempar koran kepada Kak Retta.
Mama, Papa, dan Kak Retta membaca pemenang lomba penulis novel di koran itu. Mereka menatapku sambil tersenyum.
“Ada saingan JK. Rowling!” kata Papa sambil tertawa.
“Selamat, ya sayang! Mama dukung kamu jadi penulis novel. Berarti nanti kalau sudah besar kamu jadi penulis novel sekaligus dokter anak. Oke?” kata Mama.
“Hahaha, oke saja deh supaya cepat!” kataku.
“Aku akan selalu mendukung kamu kok! Aku sudah pernah bilang ke kamu ya ‘kan?” kata Kak Retta padaku.
“Aku tahu itu. Terima kasih banya Kak Retta kusayang!”
*****
Dua hari setelah hari pengumaman itu, aku menghadiri acara penerimaan hadiah dan penghargaan para pemenang lomba di pusat toko buku itu. Cek sepuluh juta, handphone, dan bingkisan lainnya sudah ada di tangan. Ini hasil jerih payahku selama ini! Lihat hasilnya dan lihat hadiahnya! Hahaha...
“Selamat, ya Nanda! Aku tahu kamu memang berbakat,” tiba-tiba suara itu mengagetkan aku yang sedang duduk menatap panggung gembira. Ternyata Tias.
“Oh, Tias! Terima kasih banyak ya. Ini semua berkat kamu yang menyadarkan aku. Mama dan Papa juga sudah mendukung aku. Aku sangat senang. Terima kasih yaaa!” kataku spontan menggenggam tangan Tias.
Kami pun terdiam dan tertawa pada akhirnya. Kesan ketiga kalinya aku bertemu Tias akan kuberi nilai dia seratus. Dia memang orang yang baik walaupun tukang ngaret. Dasar lelaki!
Akhirnya aku bisa mewujudkan impianku yang selama ini kupendam dan puncak kebahagiaanku pada saat aku melihat pengumuman. Sekarang impianku yang kedua ingin menjadi sutradara. Kira-kira aksi apa yang akan kulakukan untuk mewujudkan impianku ya? Omong-omong, bagaimana dengan impianmu?


TAMAT


You may also like

Tidak ada komentar:

Bohong ketika orang bilang tidak suka menulis dan membaca...

karena semua orang penulis dan semua orang pembaca...

Monggo Mampir

Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan(s)