Teka-Teki Seseorang | Bagian 2: Satu Titik Dua Mata

/
1 Comments
thecoffeeenthusiast.tumblr.com
Pukul 16.25, Cafe Hauss mulai dikunjungi satu per satu oleh para tamu. Bisa diprediksi nanti banyak tamu yang datang, apalagi ini hari Jumat yang juga malam Sabtu. Itu artinya Haris dan karyawan lainnya harus menyiapkan tenaga yang lebih untuk melayani para tamu.
Pintu klinting itu berbunyi yang menandakan pelanggan datag. Salah satu pelanggan setia itu datang menghampiri meja counter. Dia selalu datang di hari Jumat sore dan bertandan dengan laptopnya. Kadang ditemani satu atau dua temannya. Tapi kali ini dia sendiri. Joseph tersenyum mendapati mata pelanggan itu menatapinya.

“Sendirian, nih?” tanya Joseph basa-basi.
“Iya, nih...” jawabnya.
“Pesen yang biasa?” tanya Haris tiba-tiba muncul dari belakangnya. Gea tersentak hampir menjatuhkan laptopnya itu. “Eh, sori!” Haris menyadari tindakannya itu.
“Kebiasaan! Iya yang biasa, Bung...” kata Gea agak kesal tapi ia harus segera menepis perasaannya itu.
Haris memberitahu staffnya untuk membuatkan Pop Soup Pastry dan green tea.
“Eh, gimana? Diterima nggak naskah kamu?” tanya Haris, si Joseph diam-diam menguping ingin tahu. Gea tertawa kecil sambil  menghela napasnya.
“Basi lo nanya begitu, Mas,” jawab Gea sambil membuka laptopnya itu.
“Diterima?” Joseph sekarang yang bertanya. Haris  menoleh ke arah Joseph.
“Nggak diterima  untuk keseribu kalinya,” jawab Gea dengan suara yang tidak dibuat menyedihkan. Dia tetap tersenyum.
“Sabar ya... Saya tahu kamu pasti bisa, hanya kesempatannya bukan sekarang.”
Haris turut bersedih. Ia ikut-ikutan menghela napas. Gea yang melihat Haris sok bersedih malah tertawa memukul lengan Haris.
“Yang ditolak itu bukan lo, tapi saya,”Gea menyikut Haris yang bertengger di counter.
“Padahal kamu kantiap kali ke sini ngerjain naskah kamu.Ya udah, saya mau ke dapur dulu deh.”
Gea terdiam di laptopnya. Ceritanya kurang layak. Tiga kata yang diterimanya dalam surat tersebut. Dimana yang kurang layak? Bagian mana? Dia masih sibuk melakukan re-reading naskahnya.
Bel klinting berbunyi lagi. Dua manusia yang tak lain lagi selain Edgar dan Sandi berjalan masuk sambil menggendong alat musiknya masing-masing. Joseph yang berdiri di belakang meja kasir sempat-sempatnya menyapa.
Edgar dan Sandi mengambil tempat seperti biasa, di meja counter. Saat itu baru  tiga orang yang menghuni meja itu. Haris, Sandi, dan gadis yang baru saja ditolak  naskahnya oleh penerbit.
“Untung gue adalah manusia yang masih bertakwa kepada Allah Swt. Kalo nggak habis itu orang. Untung  gue masih inget dosa,” dumel Edgar merasa kesal dengan musibah yang baru dialaminya.
“Udah sih, lagian dia cewek. Lo nggak bisa juga kan ninju cewek?”
“Bener juga, bener. Lo punya poin. Ngomong-ngomong mana nih si bos? Gue laper pengen makan dulu.”
Seorang pelayan memberikan pesanan kepada Gea. Gea tak lupa mengucapkan terima kasih dan langsung fokus ke laptopnya. Melihat itu, Haris semakin lapar. Kebiasaan, dia lapar mata. Edgar terus mengoceh kepada Sandi, bukan hal yang penting karena dia lapar dan dia harus tampil. Janjinya jam lima sore mereka sudah harus tampil. Karena bisingnya suara yang ada di sebelahnya membuat Gea menoleh siapa sih yang sedari tadi berisik dan membuyarkan konsentrasinya.
Sesaat Gea menoleh dan menatap lekat-lekat dua manusia itu. Edgar dan Sandi masih mengoceh satu sama lain membahas hal yang kurang penting. Di saat itu juga secara tidak sengaja, tatapan Sandi tertuju pada Gea. Satu detik, dua detik... Sandi tidak menggubris apa yang Edgar katakan. Canggung. Tatapan Gea dan Sandi bertemu. Mata Gea melebar dan cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya itu ke layar laptop.
Gea berdumel di dalam hatinya. Wajah yang baru ditatapinya itu wajah yang familiar. Sangat familiar. Dia tahu dan dia lebih baik membuang mukanya ketimbang menatapi wajah pria itu terus-terusan, lagian buat apa juga. Ia malu dan sebaiknya pura-pura tidak kenal. Hal yang ada di pikirannya ialah kembali ke laptopnya saja dan memikirkan ide baru tentang naskahnya.
Di sisi lain, Sandi masih menatap gadis yang baru saja menatapinya. Sekilas ia mengenali wajahnya. Ia berpikir, siapa dia? Sandi menunduk dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Masih bertanya dalam hatinya dan menyadari satu hal. Ooh,  ini cewek itu kalo nggak salah kan...
“Hoy, lo kenal dia?” Edgar menyadari kalau temannya itu bertatapan dengan gadis itu, alias Gea.
Sandi terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. Ia mengeluarkan gitarnya dari sarungnya, sengaja dia melakukan itu supaya tidak terlihat canggung dan menutupi sesuatu. Edgar tidak mengabaikan jawaban non verbal Sandi.
“Daripada lo ngeluh laper melulu, terus ngedumel ini-itu, mendingan kita main dulu sampe jam enam, abis itu makan. Kalo nyanyi kan bisa mengalihkan rasa laper,” kata Sandi yang sedang menyetel gitarnya.
“Tapi gue nggak ada tenaga,” Edgar masih mengeluh.
“Lembek lo, cepetan, Nyong!” Sandi mulai kesal. Edgar terkekeh sambil memukul kepala Sandi. “Sialan.”
“Eh, jangan marah melulu, beb! Iye, ini gue sedang mengeluarkan bass seksi tercinta.”
Mereka membawa semua peralatan yang mereka bawa ke atas panggung mini dan mengeset alat masing-masing.
Sandi tidak menyadari bahwa sedari tadi ada yang memperhatikannya diam-diam. Gea tahu bahwa Sandi menjawab “tidak mengenalnya” ketika Haris menanyainya. Diam-diam juga Gea sakit hati mendengar pernyataannya itu. Tapi... kalau Gea ditanyai seperti itu, kemungkinan Gea akan menjawab dengan jawaban yang sama. Dia tidak mengenal Sandi. Tapi tetap saja Gea kesal. Dia masih bertanya, apa  harusnya dia menyapa? Apa setidaknya dia harus tersenyum? Apa harus marah? Karena tadi tujuannya dia melihat ke arah suara bising ialah ingin menunjukkan ketidak sukaannya akan kebisingan mereka berdua.
Gea berusaha mengabaikannya, tapi tetap saja tidak bisa. Dia memperhatikan laptopnya dan konsentrasinya tidak sepenuhnya terkumpul. Bukann hal yang sangat penting juga untuk dipikirkan sebenarnya.
Tiba-tiba suara audio menggema di seluruh kafe ini yang otomatis membuat para pengunjung memperhatikan ke arah panggung.
“Selamat sore semuanya,” suara rendah ala cowok, siapa lagi kalau bukan Edgar yang selalu menyapa para umat manusia di Kafe Hauss ini.
“Hari ini tim SanGar, sebuat aja saya Edgar dan makhluk yang di samping saya ini Sandi. Kita berdua akan membawakan lagu-lagu yang kiranya bisa membuat kestressan Anda ini melayang.”
“Amin,” Sandi menyahut di mic satunya.
“Yang mau request boleh. Tapi untuk lagu pertama kita mau bawain lagu “Nothing Better” dari Brown Eyes. Selamat menikmati semuanya.”

Tangan Gea yang mulai mengetik terdiam sejenak. Suara itu menggema di telinganya. Sama seperti dulu, membuat para perempuan terhipnotis dan terkadang menjerit. Sandi bernyanyi dan suaranya semakin matang dibandingkan dulu. Gea menyeruput green tea-nya. Kemudian perlahan melirik ke arah panggung. Sandi sedang bernyanyi dan memetik gitarnya. Edgar memetik bass-nya. Tetapi matanya lebih fokus kepada Sandi yang saat itu memakai setelan kaus warna navy polos dengan lengan 7/8. Bibir Gea tak tersenyum, dia menikmati lagunya.  Ia meyakini dirinya, mungkin dia tak seharusnya mengenal dan tahu pria ini.
Giliran Edgar bernyanyi. Sandi mulai menyapu pandangannya perlahan sambil tangannya memetik gitar. Ia mendapati kembali sosok Gea yang sedang menatapinya. Matanya lurus-lurus menatap. Keduanya tidak menyapa, tidak tersenyum, tidak mengangguk. Gea melakukan hal yang sama dan sekarang ia menatapi lututnya dan membenarkan posisi duduknya menghadap ke laptop. Sandi masih melihat setiap gerak yang Gea lakukan dan mengabaikannya, seakan dia orang asing. Tapi terlintas dalam pikirannya, ia ingin menyanyikan satu lagu.
Setelah lagu selesai, Sandi menguasai mic-nya.
“Oke... lagu pertama tadi untuk para pengunjung yang mungkin lagi kepingin sama suasana romantis. Oh ya, entah kenapa saya lagi kepingin nyanyiin satu lagu yang bisa mengenang lagi semua masa-masa yang dulu. Ini lagu saya nyanyikan tiga tahun yang lalu, waktu perpisahan masa SMA,” kata Sandi sambil iseng-iseng memetiki gitarnya. Edgar melongo kaget sedikit sambil menyikut Sandi. Sebelumnya mereka tidak ada kesepakatan untuk menyanyikan lagu masa SMA Sandi.
“Emang lagu apaan?” bisik Edgar.
“Ini lagu nggak bakal pernah mati mau didenger sampai kapanpun. Masih inget kan lagu Project Pop yang judulnya “Ingatlah Hari Ini”?” jawab Sandi lewat mic.
Gea dengan seksama mendengarkan di depan layar laptopnya. Lagu yang memang ia dengarkan juga di masa peprpisahan SMA. Lagunya berdengung sama. Dulu di masa perpisahan SMA, lagu ini hanya bisa Gea dengarkan sayup-sayup dari kejauhan. Kini dia mendengarkannya secara jelas di kafe ini.
Selama grup SanGar mendentumkan lagu-lagu dan request-annya itu, Gea tidak menyentuh Pop Soup Pastry yang sudah ia pesan dan membiarkan green tea­ panasnya tidak panas lagi. Dia mengetik sambil menikmati irama musik yang disajikan kafe ini. Ini bukan hari Jumat yang seperti biasanya diisi oleh penyanyi kafe lain. Ini Jumat yang diisi oleh penyanyi kafe yang pura-pura ia tak kenali.
“Terima kasih atas perhatiannya, semoga malam Sabtu ini bisa dinikmati dan jangan stress mikiran hal yang berat. Kenapa? Karena kesusahan di hari itu cukup dirasakan hari itu aja, besok kan masih ada hari,” kata Edgar di penghujung pertunjukkan mereka.
Quote of the day yaaa... Hahaha, oke deh. Kalo begitu, SanGar pamit! Selamat malam,” tutur Sandi.
Edgar saat itu yang memang benar-benar kelaparan segera memasukkan bass nya ke dalam sarung dan langsung pergi ke meja counter untuk memesan makanan. Kebiasaan Edgar yang memang sudah mendarah daging, kelaparan tanpa henti. Bahkan dia meninggalkan Sandi yang masih beberes di panggung.
Gea yang menyadari panggung malam itu sudah selesai segera menutup laptopnya dan segera membayar pesanannya di kasir. Tak peduli ia meninggalkan pop Soup Pastry yang belum habis juga green tea-nya.
“Tumben udah langsung pulang, Non? Biasanya juga ngalor ngidul sampe malem?” tanya Joseph. “Empat puluh loma ribu rupiah, total.”
“Hmm, nggak apa-apa. Lagi pengen pulang cepet,” jawab Gea seraya memberikan uang lima puluh. “Kembaliannya ambil aja. Pulang dulu, Bang.”
“Iya ati-ati, Non!”
Sandi yang masih duduk di atas panggung melihat gerak-gerik Gea dari ia menutup laptop, berdiri, membayar di kasir, berbicara dengan Joseph, dan berjalan menuju pintu keluar. Lagi-lagi, seperti di sinetron-sinetron yang bikin gregetan, tatapan mereka bertemu ketika Gea menutup pintu restoran.
“Lo perhatikan siapa sih dari tadi? Kayaknya tatapan lo itu nggak seperti biasanya deh,” tanya Edgar ketika Sandi beranjak di sebelahnya. Temannya yang satu itu ternyata menyadari apa yang Sandi lihat sedari tadi. Tatapannya terlalu tajam untuk memperhatikan satu hal.
“Perasaan lo aja kali,” Sandi mengelak. Ia tidak menatap langsung Edgar saat menjawabnya. Pertanda kalau dia tertangkap basah.
“Lo dari tadi ngelihatin cewek yang nongkrong di counter sini kan?”
Jeng! Jeng! Seratus poin buat Edgar. Sandi berlagak pura-pura tidak tahu.
“Apaan sih lo. Oh ya, ngomong-ngomong nyokap gue mau ketemuan sama lo,” Sandi mengeluarkan jurus pengalihan pembicaraan yang ternyata berhasil.
“Heh? Mau ketemu gue? Emang serasa mau dijodohin gue sama anaknya? Semacam memperkenalkan calon menantu,” kata Edgar.
“Ish, elo. Emang kedengarannya begitu, ya? Hahaha... Lo mau ke rumah nggak?”
“Minggu depan aja, gimana? Soalnya gue mau ngajarin adik gue lagi nanti malam.”
“Bahhaahhaha, semacam guru les aja!”
Di saat itu juga Haris muncul di hadapan mereka sambil membawakan makanan yang sudah di pesan Edgar.
“Gimana? Lo udah bawa lagu-lagu yang waktu itu lo bilang?” tanya Haris.
“Udah, gue masukin dvd. Ini buat lo aja, silakan dipilih-pilih. Itu lagu cover, indie, dan yang lain ada disitu. Silakan didengarkan,” kata Edgar seraya memberikan kepingan dvd kepada Haris.
Thank you, Mas Bro...” Haris melongok-longok mencari sesuatu. Matanya menelusuri seluruh ruangan, “Joseph, Gea yang nongkrong disini tadi udah pulang?”
“Udah, Bang,” jawab Joseph.
“Tumben tuh anak, cepet amat!”
“Oh, namanya Gea tuh, San!” seru Edgar.
“Emang ada apa ini?”

Sandi hanya bisa menatap seakan ingin menggorok leher sahabatnya itu sampai putus, benar-benar putus.


You may also like

1 komentar:

  1. Las Vegas - Casino - JM Hub
    In addition 제주도 출장안마 to standard 평택 출장안마 casino games, the rooms at the Wynn and Encore also feature table 충주 출장샵 games 김제 출장샵 like Blackjack, Roulette and 이천 출장안마 craps.

    BalasHapus

Bohong ketika orang bilang tidak suka menulis dan membaca...

karena semua orang penulis dan semua orang pembaca...

Monggo Mampir

Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan(s)