Kok si Bapak Mikir Gitu, ya? #adultsession

/
0 Comments
dari: thefbomb.org
Saya mahasiswa di sebuah perguruan tinggi. Ups, maksudnya mau jadi ex-mahasiswa, yang masih nyari kerja. Yes, masih nyari. Tolong yang baca ini, boleh hire saya jadi penulis, tukang potret, tukang video, atau tukang desain. Ehehehe, I've been complaining tentang status nganggur ini, padahal saya udah positif bikin target, sebelum ulang tahun harus mendapatkan pekerjaan. Well, sekarang pun belum. Ah, mar lo komplen lagi dah! Oke, itu cuma selingan aja hihihi. Karena
segalanya itu rencana-Nya, walau kita udah punya rencana ya..... gitu deh, kudu sabar (setelah ditolak sekian kali dan menolak beberapa kali).

Saya nggak mau ngomongin itu. Hari ini topiknya ngomongin soal skripsi dan ideologi, hmm... bukan, pemikiran aja. Karena definisi ideologi aja udah beda-beda di Wikipedia. Banyak filsuf yang mengartikan. Descartes yang bilang ideologi itu tentang inti dari pemikiran. Kalau Karl Marx bilang ideologi adalah sebuah pemikiran untuk mencapai kesetaraan. (ini gara-gara ngomong sama kamu *nunjuk-nunjuk* jadi pake istilah ideologi :p). Hampir semuanya bilang ideologi adalah dasar pemikiran. Jadi kita pake kata "pemikiran" aja supaya bahasannya nggak berat-berat banget ya.

Skripsi saya tentang feminisme (katanya) dalam kumpulan cerita pendek karya Djenar Maesa Ayu. Padahal tadinya saya nggak mau bahas tentang feminisme, saya lebih mau bahas tentang ketidakadilan yang terjadi atau kekerasan di dalamnya. Ya, pasti emang nyerempet-nyerempet soal feminisme. Dosen pembimbing saya menyimpulkan demikian.

Banyak sih yang dibahas sebenernya dalam 4 cerita pendek yang terpilih untuk dianalisis. Tapi satu hal yang saya baru sadari akhir-akhir ini. Dari sebuah cerita pendek (cerita pendeknya tentang sebuah hidup pernikahan yang mana laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan), pak dospem pun bilang sebenernya di dalam pernikahan ada yang namanya nafkah lahir dan nafkah batin. Saya nggak mau bahas tentang konteks agama, walau memang demikian dalam konteks agama. Bahasan ini berdasarkan konteks artinya aja ya...

Yap, istri berhak mendapatkan nafkah lahir dan batin. Tapi fokus dalam cerpen di sini kebanyakan adalah konteks seks, jadi bilanglah bahasan ini merambat kepada nafkah batin. Sori to say bagi yang nggak sependapat, saya menyatakan berdasarkan pikiran dan logikanya Marxis aja. Demi mencapai kesetaraan... feminisme... sesuai dengan kata si bapak dospem. Topik saya tentang feminisme. Suami atau laki-laki di sini memberikan nafkah batin dan istri berhak mendapatkan itu. Pernah terlontar pertanyaan saya, bukankah itu yang diberikan istri kepada suami? Tentang kepuasan? Bapak dospem tetap bilang kalo nafkah batin adalah nafkah yang diberikan suami / laki-laki kepada istri / perempuan. Saya iyakan saat itu, karena saya mau skripsi saya cepat selesai dan buku referensi yang saya baca mengatakan demikian. Saya lupa sih.. dan kudu ngubek-ngubek skripsi dulu baru tau. Let's saya punya referensi dari sini dan juga dari sini. Suami wajib.

Lalu pikiran itu merambat sampai sekarang... katanya setara? Well, actually saya lebih berpikir bukan satu pihak memberikan kepada pihak satunya. Kenapa harus ada kewajiban? Wajib lebih dinilai sebagai istilah yan terpaksa, mau tidak mau, suka nggak suka. Coba mikir ya,,, ketika seks memang dinikmati bersama, saya rasa itu kegiatan saling memberi kepuasan satu sama lain. Bukan kegiatan wajib dan kudu. Karena itu kebutuhan yang "saling" bergantung. 

Jika ada persentase pernah mengatakan kebanyakan perempuan (30%) mencapai orgasme dalam hubungan seksual. Berarti banyak yang nggak dapet. Dan memang kebanyakan laki-laki selalu mencapai orgasme. Kalo narrow thinking menganggap itu nggak adil, yes, memang itu nggak adil. Nggak setara? Terserah mau bilang kegiatan itu setara atau tidak. Tapi selama rasa saling menikmati, menghargai, dan mengerti bukan menjadi hal yang bisa dikaitkan dengan kesetaraan. Kesetaraan itu menurut saya adalah perspektif diri saja. Bisa jadi orang melihat itu tak setara dan sama sekali nggak adil. Sedangkan pada pihak yang langsung terlibat, siapa tahu mereka menganggap hal itu setara dan tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Mungkin pengetahuan itu luas, mematri kepada di buku dan pikiran juga terpatri sama buku bisa jadi pola pikirnya ya sama. Tapi menurut saya sih kurang adil aja, peran itu bisa dibagi (mendengar cerita orang, sebagian kata dospem yang saya setuju, di rumah pun demikian). Selama 2 orang, perempuan atau laki-laki tidak mempermasalahkan, hal itu bukan jadi masalah.

Hmm, kesetaraan sempurna dan adil gak pernah terjadi menurut saya, apalagi kalau dipandangnya dari pihak ketiga. Pasti ada aja yang salah. Sama seperti menyebut "laki-laki dan perempuan" atau "perempuan dan laki-laki", nggak bakal demi "kesetaraan" kita menyebut keduanya sekaligus. Harus ada yang di depan, harus ada yang di belakang. Tapi itu cuma contoh kecil aja ya, perumpamaan :D
Selama saling menghargai, memberikan kesempatan, pengertian... overall everything's gonna be okay.

Iya gitu aja, itu pemandangan gue aja tanpa panduan buku. Intinya KASIH dan TERIMA KASIH :)

btw, saya bukan seorang feminis. saya cuma manusia :) saya lebih memilih jargon setara dan sama. Feminisme punya arti yang bagus, saya akui kok. Tujuan mereka juga amat baik, mencapai kesetaraan. Part II nanti lanjut yah.


You may also like

Tidak ada komentar:

Bohong ketika orang bilang tidak suka menulis dan membaca...

karena semua orang penulis dan semua orang pembaca...

Monggo Mampir

Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan(s)