Teka-Teki Seseorang | Bagian 1: Percakapan Random pt.2

/
0 Comments
diambil dari: https://www.tumblr.com/search/bicycle+cafe
Rumah Edgar, memang tidak tampak begitu besar dengan gaya minimalisnya, cenderung nyaman banget. Tapi yang tampak berbeda ada dua motor yang bertengger di depan rumahnya. Salah satunya motor Kawasaki Ninja warna hitam, sedang yang satunya motor bebek yang nggak kalah kerennya. Sesampainya di depan tumah Edgar, Sandi sempat mendelik terdiam di atas motornya. Buset, ini temen-temennya Edgar kelas apaan ini? Gue colong satu, tuker sama motor Scoopy gue lumayan... Ckckck..

Hmm, ini motor-motor makan tempat nih. Bisa-bisa jadi sasaran pencurian, ckckck..celetuk Edgar dengan dirinya sendiri sambil menggaruk-garukkan kepala.

“Lho? Bukan motor temen-temen lo, Gar?”

“Bukan. Katanya lo mau pipis?”

“Iye, iye bentar...”

Di depan pintu masuk ada tiga sepatu kets hitam berderet dan di dalamnya diselip kaus kaki, otomatis melangkah lewat pintu depan akan tercium bau yang khas. Edgar melengos sambill geleng-geleng kapala.

“Pasti temen-temennya Anisa ini! Rame banget pasti.”

Benar saja, begitu melewati ruang tv, meja itu dipenuhi dengan buku-buku tebal, buku tulis, coretan, pensil, dan ada tiga orang yang mengelilingi meja itu. Ada Anisa diantaranya.

Sebelum Sandi menerka-nerka si Anisa yang mana, ternyata anaknya sudah menyapa sang abang duluan.

“Bang! Pulang sore kamu, Bang?” Anisa menyibak rambutnya bak iklan shampoo.

Sandi memang pernah melihat si Anisa sebelumnya. Perawakannya memang manis ditambah matanya yang lebar dan tulang pipinya yang kelihatan, sudah bisa jadi model.

“Udah pulang, Dek. Kamu belajar nih ceritanya? Bukannya janjinya minggu depan?” tanya Edgar.

“Pada maunya sekarang, besok ada try out!”

Sandi mencolek-colek Edgar menandakan bahwa ia emang kebelet pipis. Edgar langsung menunjuk kamar mandi dengan jempolnya.

“Nis, gue pinjem toilet, ya...” sopan Sandi pada Anisa.

“Silakan, Bang. Ngapain ijin dulu?”

Sementara Sandi pipis, Edgar kepo melihat-lihat apa yang sedang adiknya dan teman-teman pelajari. Salah satu teman Anisa yang berkuncir setengah malah asyik baca majalah disela-sela keseriusan teman-temannya.

“Ajeng belajar, apa belajar?” goda Edgar kepada Ajeng yang ke gap lagi baca majalah.
“Abang! Ini namanya hiburan! Oh ya, itu temennya Abang namanya siapa?” Ajeng mulai bermuka badak, melupakan rasa gengsi untuk mengetahui Sandi. Eel (baca: e-el) yang paling kalem hanya bisa tertawa malu-malu, sebenarnya keingintahuannya itu sama juga seperti Ajeng.

“Coba aja entar kenalan sendiri,” kata Edgar. Sandi tak lama kemudian muncul dari pintu kamar mandi dan duduk bersila di sebelah Edgar sambil merangkul teman sepermainannya itu.

Di saat itu wajah Eel tersipu-sipu malu dan mengundang Anisa untuk menggoda. Apalagi Ajeng yang langsung mencolek-colek Edgar untuk segera dikenalkan.

“Eel mukanya merah tuh... pertanda...” goda Anisa cekikikan. Sandi mendelik bingung, sebenarnya apa yang terjadi?

“Apaan sih, Nis... Biasa aja dong,” gerutu Eel diam-diam di balik bukunya.

“Sandi, kenalin nih! Temen-temen adek gue. Yang ini Ajeng. Nah yang pake kaca mata tuh si Elisabeth,” kata Edgar memenuhi keinginan dua perempuan yang dewasa tanggung.

“Hehehe, aku Ajeng, Kak. Apa kabar?” Ajeng mengeluarkan jurus gembel centilnya.

“Hai, baik. Gue Sandi.”

“Emmh, Elisabeth. Panggil Eel aja.”

“Halo Eel. Gue Sandi.”

“Lho? Yang pake motor Ninja itu siapa? Temen lo nggak ada yang cowok, Nis?” Sandi baru sadar ada motor Kawasaki Ninja yang bertengger di depan rumah.

“Oh itu, motornya Eel.”

“Hah?! Apa?! Gila?! Cewek bawa motor itu?!” Sandi setengah berteriak mendengar perkataan Anisa. Wajah Eel langsung berubah merah ketika Sandi tak mempercayainya.

“Eh, malu-malu kucing gitu dia bawa motor cowok,” kata Edgar.

“Itu motor hadiah aja kok, motor hadiah door prize. Yang penting dipake, Kak...” Eel tetap rendah hati dibalik suara halusnya.

Sandi masih mengkerut nggak percaya. Ketawa nggak percaya dan menatap Eel, meng amatinya dan masih bingung. Eel tipe cewek nerdy dibalik kacamata berbingkai setengahnya itu. Apalagi mukanya alim banget. Bawa motor Ninja? Apa jadinya, ya? Persepsi orang bakalan wah-wah kalo melihat perempuan kayak Eel bawa motor Ninja.

“Tau nggak sih, Bang? Gara-gara Eel bawa motor Ninja. Anak-anak cewek geng pecicilan gitu bermuka dua banget. Bikin males tau nggak?” kata Anisa dengan tangan yang masih berkutik dengan angka-angka.

“Iya tuh, Bang. Males banget. Abang tau sendirilah kalo geng-geng cewek yang males bergaul sama kita-kita begini yang biasa aja, kita yang jarang atau bahkan nggak pernah tampil di depan. Pamor and popularity are maintained, tambah Ajeng.

“Terus kalian ladenin? Kalian temenan nggak sama mereka?” tanya Edgar.

“Mereka teman tapi kita nggak temenan. Lagian harta dan jadi populer bukan segalanya, Bang. Udah mau lulus ini,” sahut Ajeng lagi.

“Udah ah, Jeng. Terusin belajarnya. Gogirl! melulu yang lo pegang,” Eel angkat bicara.

“Emang udah berapa tahun lo bawa motor Ninja?” Sandi masih terheran-heran.

“Dari pertengahan kelas dua SMA, Kak. Kenapa?” jawab Eel senang ditanyai Sandi.

“Nggak apa-apa sih. Keren aja...”

“Emang dulu waktu SMA nggak ada yang bawa motor kayak gitu apa?”

“Ada, tapi cowok. Bukan cewek. Kalo ada, juga pasti langsung dikerubutin anak-anak kali. Hmm... Emang masih ada gap ayak geng gitu, ya?”

“Masih ada dan nggak menutup kemungkinan orang aji mumpung cari popularitas di sekolah. Apalagi SMA dimana anak-anak udah nunjukkin siapa gue sebenernya.” Eel tak menatap Sandi namun nada bicaranya tegas dibalik kehalusannya.

“Eel nunjukkin dirinya kalo dia kekar sebenarnya,” celutuk Edgar.

“Eel bukan tipe orang yang suka digembar-gemborin, Bang...” bela Anisa.

Sandi tiba-tiba terdiam. Kalau begini dia jadi teringat dengan teman-teman SMA. Bawa motor keliling-keliling dulu habis pulang sekolah, tarik tiga, bahkan tarik empat. Ketahuan guru BP, langsung diberikan hukuman. Itu zaman SMA. Iya, entah ia harus merasa lega atau merindukannya.

At least walau kita nggak populer, kita masih punya otak dan harga diri kok untuk dibanggakan. Gue masih punya temen-temen gue yang masih bisa nerima apa adanya tanpa mandang siapa lo, siapa gue,” kata Anisa sambile menatap arti kedua sahabatnya itu.

“Drama para wanita,” bisik Edgar kepada Sandi. Sandi tersenyum sekilas, pikirannya menerawang.

Sandi tersenyum, diam-diam di dalam dirinya tersibak banyak kenangan masa SMA-nya dulu. Satu per satu pertanyaan apa yang dilakukan teman-temannya sekarang, ya? Apa masih sama seperti dulu? Tapi perlahan, ia tak ingin tahu banyak apa yang dilakukan teman-temannya itu. Ia sudah senang dengan kehidupannya sekarang. Ya... dia bahagia sebagai mahasiswa dan penyanyi kafe ulung bersama Haris.



“Pulang malem kamu?” tanya Mama yang sedang membaca koran. Sandi buru-buru menutup pintu rumah dan duduk di sebelah Mamanya.

“Iya. Tadi abis dari kafe, ke rumah Edgar. Eh, ada adik sama temen-temen adiknya lagi belajar bareng persiapan UAN. Saya akhirnya ikutan ngajarin mereka Matematika,” jelas Sandi sambil mengintip apa yang Mamanya baca.

“Emangnya kamu bisa ngajarin mereka?”

“Hmm, apa aku buka les privat aja, Ma?”

“Dunia terbalik deh kalo kamu mengajar. Mama belum pernah ngeliat kamu ngajar,” kata Mama ada sedikit nada mengejek. Sandi hanya tertawa membenarkan kata Mama, dia memang kurang berbakat dalam hal mengajar.

Di rumah Edgar, Anisa sampai mengatakan “hah?” sampai lima kali ketika Sandi mengajarinya aljabar variabel lalala... Edgar sampai tertawa dan semua konsentrasi buyar. Itu semua karena Sandi sok tahu mengajarkan tiga manusia yang ingin lulus UAN. Dia pura-pura tahu mengenai aljabar dan akhirnya dia mengakui telah melupakan semua pelajaran itu. Edgar si mahasiswa enroll itu saja masih bisa mengajari ketiga gadis kelas 3 SMA itu.

“Temen kamu siapa itu namanya, Egi?”

“Edgar, Ma...”

“Iya, mbok ajakin ke rumah sekali-kali.”

“Yang ada nanti makanannya abis semua sama dia, Ma.”
Mama Lia hanya tersenyum dan mengelus sayang anak semata wayangnya dan mencium puncak kepalanya. Ternyata anaknya kini sudah dewasa, dia bukan anak yang harus dibatasi lagi.




Gadis itu mengulum senyumnya setelah menerima selembar surat yang baru saja diterima dari kakaknya itu. Ia tersenyum sambil menatap surat itu dan melipatnya kembali dengan rapi dan memasukkannya ke amplop. Ia menghela napas dan terduduk di atas kasurnya. Tubuhnya cukup lelah setelah berjam-jam beridiri di dalam bus Kopaja. Keringatnya masih belum kering.

“Gimana? Diterima, Ge?” tanya Odi, kakaknya, sambil mengeringkan rambut basahnya.

“Hhhh.... lo lihat aja sendiri,” kata Gea sembari memberikan amplop itu. Odi membuka amplop itu dan menggelengkan kepala.

“Nasib,” katanya sambil melempar amplop itu ke atas meja belajar sambil tertawa kecil. 

Kepahitan di atas kemanis yang ditunjukkan adiknya sudah menjadi pemandangan biasa. Odi hanya bisa tertawa kecil.

Gea hanya bisa tersenyum melihat reaksi kakaknya. Odi selalu begitu. Tak ada kata penyemangat untuk dirinya. Terkadang ingin kata-kata itu terdengar walau hanya satu kata saja. Ia menutupi keinginannya itu dengan tersenyum.

Gea berbaring di atas kasurnya itu dengan pakaian yang masih lengkap sejak tadi ia berangkat kuliah.

“Di,” panggilnya.

“Hmm...”

“Nasib itu sebenernya bisa dirubah.”

Odi terdiam dan menatap adiknya. Dia sekarang yang diam, tangannya sibuk menyisiri rambut panjangnya itu.

“Contohnya?”

“Tenaga ekstra buat merubah nasib.”

“Lo bilang dengan merevisi, membuat judul baru, dan begadang sampai malam untuk membuat naskah kamu itu bukan disebut tenaga ekstra? Lo udah melakukan hal ini sejak lama. Lo bilang bisa merubah nasib?” tanya Odi. Gea terdiam dan tiba-tiba dia ingin melempar apa saja ke wajah kakaknya itu, tapi dia tidak berniat kok. Hanya ingin.

Odi melenggang bebas keluar kamar sambil membawa kotak rokoknya, tidak menyadari ada yang menggerutu dan memperhatikan dalam keheningan setiap lakunya. Gea melengos, dia benci perokok. Kakaknya sendiri padahal perokok. Apalagi cewek perokok, kakaknya sendiri padahal cewek. Dia selalu  berhadapan apa yang tidak ia sukai. Kenyataan yang ia selalu tolak  dalam pikirannya.

Gea dalam hati tidak menyetujui apa kata kakaknya itu. Nasib, kata Odi. Nasib itu tidak bisa dirubah. Dia sudah mencoba berkali-kali, memang hasilnya tidak memuaskan. Bukan hasil yang diharapkan. Sialan, desis Gea dalam hati. Gea hanya berminat menutup matanya sejenak dan tidak ingin memikirkan semuanya. Ia terlalu lelah.

Gea dan Odi, pertalian satu darah tapi tidak bisa disatukan. Bagaimana bisa? Gea bukan orang yang mudah mengemukakan segalanya. Odi dengan mudah melemparkan segala sesuatu yang ia rasakan. Gea perokok pasif, sedangkan Odi perokok aktif. Gea anak siang dan Odi anak malam. Gea lebih menyukai kesendirian, Odi menyukai keramaian. Gea tidak begitu menonjol, Odi sangat menonjol. Gea sneakers lover, Odi high heels loverHanya satu sifat mereka yang sama, keras kepala.

Gea bahkan tidak mengerti kenapa dia bisa memiliki saudara yang seperti itu? Hanya berbeda tiga tahun dengannya dan memiliki kehidupan seratus delapan puluh derajat dengan teman kamarnya itu. Kadang Ibunya mempermasalahkan hal itu. Hmm, dia tidak akan membahas soal orang tuanya. Dia belum mau membuka kotak kenangan yang disebut keluarga itu. Apa dia punya keluarga?

Gea lebih memilih untuk menutup matanya itu. Satu tetes, dua tetes air mata mengalir. Ia dengan segera menyekanya. Dia tidak boleh menangis. Benar, tidak boleh menangis. Dia orang yang kuat, dia selalu membatin seperti itu. Semuanya terlalu krusial untuk dipikirkan, random...

***** bersambung


You may also like

Tidak ada komentar:

Bohong ketika orang bilang tidak suka menulis dan membaca...

karena semua orang penulis dan semua orang pembaca...

Monggo Mampir

Diberdayakan oleh Blogger.

Tulisan(s)